Tolong nasihati aku....

Qur'an surat Al-Ashr yang seringkali dibaca anak-anak TPA hendak pulang mengaji sudah seringkali kita dengar. Sebuah surat yang memerintahkan sesama muslim untuk saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Sebuah surat yang memberikan pesan bahwa jangan alergi untuk dinasihati dan jangan takut untuk menasihati baik itu keluarga, sahabat, kerabat, maupun orang lain yang belum tentu kita akrab, tapi sudilah kiranya kita berkenan memberikan nasihat kepadanya atas nama cinta dan atas nama sayang sebagai saudara sesama muslim.

Benar sekali, menerima nasihat itu tidak lah mudah kecuali kita yang memintanya. Lebih tepatnya adalah menerima kritikan. Karena sebetulnya mengkritik adalah memberikan nasihat, walau kalau menggunakan bahasa perasaan kata "dikritik" itu terasa lebih tajam dibandingkan kata "dinasihati". Kira-kira apa bedanya? Bukankah sama-sama kita menerima sebuah peringatan atas sesuatu yang kita lakukan? Kalau menurut saya tetap ada bedanya walau sedikit, dikritik itu lebih kepada apa yang sudah kita lakukan sementara dinasihati itu bisa keduanya yaitu pada apa yang akan kita lakukan dan pada apa yang sudah kita lakukan. Yang berbeda ya itu tadi, rasanya, dinasihati sepertinya lebih halus daripada dikritik. Tapi dalam pembahasan ini, kedua istilah itu tak menjadi soal.

Well, kita sama-sama mengakui bahwa menasihati akan lebih gampang daripada menerima nasihat. Mengkritik seseorang akan lebih easy daripada dikritik. Kenapa? Karena yang kita lihat adalah kekurangan atau kesalahan pada diri orang lain, bukan pada diri kita sendiri. Yang terpenting adalah jangan sampai seperti gajah dipelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak. Atau kalau di dalam Al-Qur'an bisa kita buka di dalam surat As-Shaff ayat 2, sebuah nasihat yang menegur sekaligus menyadarkan diri kita bahwa dibalik perintah menasihati itu ada tanggungjawab besar yang mengarah balik kepada diri kita. Apakah apa yang kita nasihatkan kepada orang lain itu telah dilakukan oleh diri ini?

"Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?". (Qs. As-Shaff:2)

Dalam kesempatan ini saya akan membahas dari dua sisi yang berbeda terkait dengan perintah nasihat-menasihati ini. Namun untuk pembahasan terkait dengan poin kedua akan dibahas di artikel yang berbeda, tidak disini. Pertama, menasihati dalam persoalan kecil yang kesalahan itu biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dimana kesalahan-kesalahan itu seringkali tidak disengaja tapi selalu terulang karena disebabkan kebiasaan diri kita atau orang lain. Kebiasaan yang bisa berasal dari lingkungan diri kita atau orang lain tersebut. Kedua, menasihati disebabkan karena persoalan yang lebih besar. Dalam hal ini, kita banyak berkoar-koar meminta seseorang melakukan sesuatu tapi kenyataannya diri kita sendiri bernilai nol. Sama seperti apa yang terkandung dalam Qs. As-Shaff : 2 di atas.

Setiap manusia pasti memiliki kekurangan. Baik secara fisik ataupun kekurangan dalam soal karakter yang melekat pada diri seseorang, lalu kita nilai dengan sudut pandang kita, dengan berharap orang lain tersebut sesuai dengan apa yang kita inginkan. Tanpa kita memahami bahwa butuh waktu bagi seseorang untuk bermetamorfosa menjadi seseorang yang sempurna dimata kita, seperti dari kepompong yang bulat dan gendut lalu berubah menjadi kupu-kupu yang cantik.

Perilaku seseorang tak lepas dari kebiasaan ia hidup, ada dalam dekapan keluarga yang bagaimana, dan hidup di lingkungan yang seperti apa. Yang pasti, ada kebiasaan baik ada pula kebiasaan buruk. Sebuah hadist yang saya kutip dari buku oleh Ustadz Muhammad Fauzil Adhim membicarakan tentang kebiasaan ini, bunyi hadistnya adalah:

"Barangsiapa yang menetapkan sunnah-hasanah (kebiasaan yang baik) lalu ia diamalkan, maka ia mendapat pahala seperti orang yang mengerjakannya tanpa dikurangi sedikitpun. Dan barangsiapa yang menetapkan dalam Islam satu sunnah sayyi'ah (kebiasaan yang buruk) lalu ada yang mengamalkannya, maka ia memperoleh dosa seperti yang mengerjakannya tersebut tanpa dikurangi sedikit pun". (HR. Muslim)

Dalam kehidupan sehari-hari kita kadangkala keimanan kita naik kadangkala turun. Kadangkala juga emosi diri kita stabil tapi kadangkala juga labil, hal ini berakibat pada perilaku kita kepada orang-orang yang ada di sekeliling kita. Di sisi lain, naik turunnya iman dan labil tidak nya emosi diri akan mempengaruhi bagaimana kebiasaan atau aktivitas kita termasuk dalam hal peribadatan.

Sebagai contoh, suatu hari karena kondisi tertentu menyebabkan diri kita sangat emosional. Lelah, sakit, capek dan hal lainnya membuat diri kita saat itu molor dalam melaksanakan sholat dari waktu yang semestinya. Seketika sang adik mengingatkan pada diri kita untuk segera sholat, mengingat waktu sudah akan habis dan pandangan mata adik kita melihat diri kita hanya memegang handphone saja. Entah itu kita sedang bermain games atau urusan pekerjaan, tapi disaat itu kita sudah dan sedang menunda-nunda waktu sholat. Tentu ini menjadi pandangan yang mengusik bagi orang terdekat kita, karena menurutnya ini adalah sesuatu yang tidak biasanya dan katakanlah buruk. Namun, mungkin karena emosi kita saat itu tidak stabil, justru yang keluar dari mulut kita adalah suatu parkataan yang sulit untuk disangkal, dan menyulut api emosi.

"Ah, kamu saja sering molor sholat shubuhnya, pakek berisik nyuruh-nyuruh segera sholat". 

Jawaban seperti itu, sangat membuat suatu kondisi tidak nyaman, nasihat tidak bisa diterima dengan baik, dan akhirnya justru menyulut api emosi sang adik. Bahkan, ke depannya membuat orang-orang terdekat kita menjadi malas dan enggan menasihati diri kita, karena selalu menjawab sebuah nasihat dengan kata-kata yang membalikkan  seperti itu kepada orang terdekat kita. Memang betul, kadangkala adik kita sulit untuk bangun awal dan tepat waktu saat waktu sholat shubuh tiba. Tapi bukan berarti ia sengaja melakukan itu, bukan berarti ia tidak ingin bangun tepat waktu, dan bukan berarti setiap hari ia bangun terlambat.

Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya' 'Ulumuddin tentang pembahasan penyakit hati (masih mengutip dari buku ustadz M. Fauzil Adhim), bahwa "akan tetapi, biasanya kita justru menyibukkan diri dengan mencari-cari jawaban untuk menunjukkan kepada orang itu bahwa ia sendiri juga menyandang cacat-cacat seperti itu. Lalu kita akan berkata kepadanya 'Anda sendiri juga melakukan seperti ini... dan seperti itu...' dan sikap permusuhan seperti itu pasti menghalangi kita daripada manfaat nasihatnya". 

Contoh seperti di atas banyak dan seringkali terjadi di lingkungan sekitar diri kita, mungkin dengan tema yang berbeda. Antara suami dan istri, antara dua sahabat, antara tetangga yang satu dengan tetangga satunya, atau dengan siapa saja dan antara siapa saja. Tapi kita tidak pernah menyadarinya. Dalam konteks pernikahan kata Ustadz Fauzil adhim, komunikasi demikian dapat membuat hilangnya keromantisan dan kebarokahan dalam berumahtangga. Selain itu, komunikasi seperti itu merupakan indikasi munculnya komunikasi yang kursif yang tidak sehat dan dapat merobohkan bangunan mitsaqan ghaliza. Komunikasi kursif adalah bentuk hubungan dua orang atau lebih yang menyampaikan pesan dengan efek memaksa pada orang yang menerima pesan. Penjelasannya dalam konteks berumahtangga dapat anda baca di dalam buku karya Ustadz Fauzil Adhim yang berjudul "Kado Pernikahan untuk Istriku".

Sebagai penutup, seseorang yang terbaik bagi kita adalah yang dapat meluruskan saat kita berbuat salah, yang membuat kita menjadi benar, bukan seseorang yang selalu membenarkan apa-apa yang kita perbuat. Maka kesalahan-kesalahan atau kelalaian yang kita lakukan suatu saat, dan kemudian ada orang-orang yang berbaik hati mau menegur dan mengingatkan diri kita, sebaiknya ucapan terimakasih adalah yang paling tepat kita berikan kepadanya.

Dalam aktivitas keseharian diri kita, kadangkala kita bisa lalai untuk sholat tepat waktu, kita bisa lalai menghabiskan waktu berjam-jam di depan handphone sepaket dengan gamesnya, kita lalai untuk memberikan waktu mengobrol dengan kedua orangtua/istri/anak/suami kita, dan kita pun lalai untuk menasihati diri kita sendiri. Seketika ada orang-orang di sekitar kita yang melakukan kelalaian yang sama seperti hal nya diri kita. Maka disitulah kita berperan untuk saling nasihat-menasihati tanpa harus takut terbayang-bayang dengan perkara yang disebutkan dalam Qs. As-Shaff: 2 sehingga menghalangi diri kita untuk nasihat-menasihati karena diri kita belumlah sempurna menjalankan apa yang diperintahkan oleh agama. Pembahasan dalam Qs. As-Shaff: 2 perlu ilmu yang lebih mendalam lagi, dan mudah-mudahan bisa diberikan kesempatan untuk memperoleh ilmu dan menuliskannya di artikel berikutnya. Demikian tulisan saya siang ini, do'akan saya bisa lebih produktif lagi untuk menulis perkara-perkara yang mengandung hikmah lainnya ya ^-^




Komentar

  1. Wah, ternyata produktif nulis ya.
    Mantap..terus berkarya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe... sesempatnya kak... jazakallah sudah mampir kesini.. :-D

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer