PERKENALAN (cerita bersambung bagian 1)

Lelaki itu lari tergopoh-gopoh mengejar bus yang baru dua menit perlahan meninggalkan terminal ibu kota. Tangan kanannya menenteng kardus supermi yang didalamnya ada beragam macam oleh-oleh. Sementara di punggungnya satu ransel besar berbahan parasit menempel dengan tinggi kurang lebih 30 cm dari ujung rambut kepalanya. Sementara itu, peluh keringat sebesar biji kacang ijo menetes dari pelipisnya, poni lelaki itu pun lembek basah karena keringat.

"Tunggu... tunggu.. tunggu...", lelaki itu meneriaki bis yang masih berjalan pelan. Tak terlihat kondektur berdiri di pintu bis. Biasanya, kernet bis kelas ekonomi selalu berada di pintu bis. Satu kernet di pintu depan, satunya lagi di pintu belakang. Beruntung, seratus meter dari pintu gerbang terminal adalah traffic light, dan saat itu juga berwarna merah. Tanda setiap kendaraan harus berhenti sementara, hingga warna lampu berubah menjadi hijau.

Lelaki itu pun mendesah nafasnya. Ia masuk ke dalam bis dari pintu belakang. Sesampainya di dalam bis, ia mencari kursi kosong, hanya tersisa satu di bagian hampir belakang. Alhamdulillah, untung saja. Ia pun beranjak dari tempat berdirinya menuju ke kursi kosong itu. Tampak disana, seorang perempuan berjilbab orange duduk sendiri di bagian pinggir, sebelah kaca.

"Mbak, boleh saya duduk disini?", sapa lelaki itu kepada perempuan yang akan menjadi teman perjalanannya.

"oh iya mas, silahkan", sambil tersenyum manis, perempuan itu sedikit bergeser menepi ke arah kaca, dan meletakkan jaketnya di tengah-tengah atau sebelah kirinya.

"terimakasih", lelaki itu meletakkan ransel beratnya di bagian bawah kursi penumpang. Tas nya yang terlalu besar, tak cukup bila diletakkan di bagasi atas. Sementara kardus superminya ia letakkan di tempat seharusnya kakinya berada. Mau bagaimana lagi, sudah terlalu penuh bis bermuatan penumpang dan barang-barang bawaan penumpang.

***

Siang hari yang semilir. Tepat pukul setengah tiga siang, satu jam sebelum adzan ashar berkumandang menyapa alam dan seluruh makhluk yang mendiaminya. Suara burung berkicau renyah terdengar jelas di sepanjang jalan. Terik matahari pun semburat senyap menggores wajah, menyembul di antara dedaunan pohon akasia yang berbaris rapi di pinggir jalan.

Perempuan tua itu berjalan di jalan setapak, kurang lebih dengan lebar dua meter. Dipunggungnya tersampir ranting-ranting kayu yang ia gendong dengan jarik lusuhnya. Jarik berserat dengan motif garis, persis seperti kendit untuk penyangga orang yang sudah lahiran. Ia letakkan secara diagonal dari kanan bawah ke kiri atas dipunggungnya yang sudah tak lagi kokoh sepeerti saat muda dulu. Sementara di tangan kanannya, satu buah sabit berayun ke depan ke belakang sejalan dengan ayunan tangannya saat setiap kakinya saling bergantian menapak.

Jalanan yang menanjak, membuat perempuan tua itu berjalan sedikit membungkuk untuk mengimbangi dirinya agar tidak terjatuh. Padahal, walau tidak di tanjakan, dirinya pun sudah berjalan dengan membungkuk.

Setiap lima sampai tujuh langkah perempuan tua itu berhenti sebentar untuk mengambil nafas dan sesekali membenarkan gendongannya yang beberapa kali melonggar. Ia juga mengusap peluhnya yang merembes ke jilbabnya yang pendek, jilbab yang dulu sempat ngetrend dengan sebutan jilbab krisdayanti. Kini, jilbab model itu lebih banyak digunakan perempuan-perempuan tua desa dan sering dipakai untuk pergi ke ladang, ke sawah, juga ke hutan. Ringkes.

Rumah perempuan tua itu sebetulnya tidak jauh lagi, lima ratus meter lagi sampai. Tapi jalanan yang turun naik tak urung membuatnya kelelahan juga. Sejak jam delapan pagi ia sudah berangkat ke ladang, dua setengah kilo dari rumahnya. Jalanan desa yang penuh dengan kerikil, belum beraspal mulus, membuatnya harus berhati-hati. Maklum, ia pergi tanpa mengenakan sandal alias nyeker. Cukup sakit jika harus terkena kerikil-kerikil yang tajam bagi telapak kakinya.

Dalam benak perempuan tua itu sudah terencana apa saja yang akan ia kerjakan begitu sesampainya di rumah. Mengistirahatkan badan walau sebentar, sambil menyeruput kopi dan sisa singkong rebus pagi tadi. Lalu, saat adzan berkumandang ia akan bergegas mandi dan sholat. Setelah itu, baru ia mulai memasak dengan kayu bakar yang ia bawa dari ladang tadi. Menyajikan masakan seadanya untuk suami tercinta.

Hanya ada daun singkong yang sudah ia petik dari pekarangan rumahnya, pagi sebelum ia berangkat meladang. Juga kelapa tua yang terjatuh dari pohon kemarin sore dari kebun belakang rumah, lalu suaminya memungutnya dan membawanya ke rumah.

Ya, sayur daun singkong sepertinya akan mengobati rasa laparnya seharian ditemani sambel korek dengan cabai yang ia petik juga dari pekarangannya. Enaknya hidup di desa, apa-apa tinggal metik dari tempat tumbuhnya. Walau kata orang kota hidup serba kekurangan, tapi tidak ada yang kurang jika relung hati sudah dipenuhi syukur pada yang Maha Memberi.

****

Lelaki itu mengambil botol plastik berisi air mineral dari sisi luar kiri ranselnya. Ia meneguknya hingga setengah botol berkurang. Perjalanannya kali ini tidaklah dekat. Ia akan menuju sebuah dusun di sebuah desa yang jauh dari hiruk pikuk keramaian dan kebisingan. Sebuah kampung tempat ia dulu dilahirkan. Kampung yang sudah lima tahun ia tinggalkan untuk merantau ke ibukota. Kurang lebih empat belas jam ia akan duduk di mobil bis, dengan dua kali transit.

Selama lima tahun itu ia tak pernah pulang, hanya surat yang ia kirimkan pada keluarganya. Itupun setahun sekali ia mengirimi surat pada orangtuanya. Maklum, orangtuanya yang sudah menua, tak bisa menggunakan handphone, ditambah lagi tidak ada sinyal di kampungnya itu.

Bahkan sampai saat ini, dimana dunia sudah dipenuhi dengan inovasi teknologi, sinyal itu pun belum juga menyentuh lokasi kampungnya. Sangking tingginya teknologi saat ini, sampai-sampai orangpun punya banyak waktu santai. Buktinya, banyak orang kini bermain 'pokemon go' untuk mengisi waktunya. Sebuah pekerjaan yang sia-sia bagi orang-orang desa yang tidak mengenal waktu untuk bersantai dan memanjakan diri seperti itu.

Harapan laki-laki itu untuk bisa bertemu kedua orangtuanya sudah memuncak, hingga ia memutuskan untuk pulang. Rasa rindu yang ia pendam bertahun-tahun, hanya terganjal karena masalah biaya untuk pulang yang tak cukup dengan uang seratus ribu rupiah. Ya, ia harus mengumpulkan pundi-pundi kantungnya dulu supaya bisa pulang dengan membawa sedikit oleh-oleh untuk Bapak dan Mamaknya. Juga, pekerjaan tetap yang bisa ia sambangi lagi usai kunjungan ke kampungnya telah habis.

"Hendak pergi kemana mas?", sapa perempuan yang duduk di sampingnya. Sudah dua jam perjalanan, tak enak juga tak mengenal orang teman seperjalanan, batin perempuan itu. Setidaknya, untuk tahu saja barangkali tempat yang dituju adalah searah.

"Saya mau ke Boyolali mbak, mbak sendiri mau kemana?", lelaki itu menjawab dengan tersenyum. Pikirnya, dari tadi ia mau menyapa agak sungkan. Wanita berjilbab menurutnya memang lebih elegan, dan harus dihormati. Bukan berarti menyapa adalah sebuah tindakan tidak terhormat. Hanya saja lelaki itu sungkan untuk memulainya.

"Saya mau ke Yogyakarta mas. Masnya dari mana?", perempuan itu bertanya lagi. Kali ini dengan menatap kepada wajah laki-laki itu.

"Oh, Yogyakarta to. Saya dari Jakarta Utara mbak, sudah lima tahun merantau ke Jakarta, dan bekerja disini", papar laki-laki itu meski singkat.

"Oh gitu", perempuan itu menganggukkan kepalanya, jejari tangan kanan-kirinya saling memijat, mematuk-matuk jari-jari tangannya. Sesekali bermain kuku.

"Namanya siapa mbak?", tidak kenal maka kenalan pikir laki-laki itu.

"Rina mas, njenengan?", sama-sama dari jawa, pasti lelaki sampingnya juga bisa bahasa jawa pikir Rina.

"Bayu mbak", lelaki itu tersenyum, terlihat manis dengan giginya yang berjejer rapih.

Keadaan pun hening sejenak. Perkenalan memang selalu membuat kikuk diri untuk bertanya bermacam-macam pada orang yang baru saja dikenal. Terlebih-lebih di perjalanan, kadangkala membuka identitas diri menjadi kekhawatiran. Terlebih untuk perempuan yang bepergian sendiri tanpa ada mahram disampingnya.

Namun di sisi lain, saling diam tanpa ada sapa walau basa-basi menjadikan diri serba kikuk juga. Kadangkala selama di perjalanan kita butuh bantuan orang juga. Misalnya, saat harus izin keluar hendak ke toilet saat bus berhenti di pom bensin, kita harus pamitan dengan orang yang duduk dekat kita. Supaya bisa mengingatkan sopir, kalau masih ada orang di toilet ketika bis akan melaju lagi. Alangkah lebih enak kalau setidaknya kita sudah kenal dan menyapa orang di sebelah kita sebelumnya.

Mungkin akan lebih nyaman, jika teman duduk kita adalah sama-sama perempuan. Atau sama-sama laki-laki. Tapi kadangkala diluar kondisi yang kita inginkan, seperti Rani dan Bayu yang duduk harus bersebelahan padahal bukan mahram. Ada juga seseorang yang berani untuk meminta duduk saling tukar dengan penumpang lainnya, demi menjaga dirinya dari bersentuhan dengan seseorang yang bukan mahramnya. Tapi seringkali, tidak semudah yang direncanakan.

Bus pun melaju dengan cepat. Terlihat penumpang yang lain tengah tertidur lelap di saat deruan mesin bis terdengar keras sampai dalam. Sesekali seseorang terbangun karena bis yang mengerem dengan mendadak, atau bisa jadi karena memang tidak nyenyak tidur dengan duduk, dimana kaki menggantung ke bawah.

Bayu pun sudah mengakhiri percakapannya dengan Rina. Ternyata ia adalah seorang mahasiswi dari Yogyakarta yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Indonesia. Calon dokter. Pikirnya, ternyata ada juga calon dokter yang duduk di kelas transportasi ekonomi seperti ini. Sebuah situasi yang mungkin jarang-jarang akan ditemui. Menurutnya, dokter itu orang-orang yang selalu rapi dan bersih, jarang bersentuhan dengan barang murahan. Kata teman kontrakan Bayu, temannya yang kuliah di Fakultas Ekonomi, anak kedokteran kalau kuliah pada bawa mobil pribadi. Jarang yang motoran, apa lagi naik angkot umum.

Dilihatnya Rina, sudah tertidur menghadap ke kaca jendela bis. Mulut dan hidungnya ditutupi masker berwarna coklat gambar teddy bear. Sementara matanya terjaga oleh kacamata minus berwarna hitam dengan bidang yang lebar. Semburat setengah wajahnya menyembul dari kaca jendela yang bening berlapis debu. Manis.

***

Paijan, laki-laki tua beranak satu. Saat ini ia tengah menyasak batang tanaman singkong dengan golok kecil dan tipis miliknya. Ia sasak batang tanaman singkong itu tanpa bersih. Sudah setumpuk batang yang ia sasak ada dihadapannya, sementara di sisi kirinya setumpuk batang tanaman singkong itu masih terlihat segar, belum disasak.

Tangannya terus berayun ke atas bawah. Membuat tumpukan batang tanaman singkong yang sudah disasak menjadi lebih tinggi. Hingga akhirnya satu tumpukan di sebelah kirinya itu berpindah ke hadapannya.

Lalu ia menjemurnya di belakang rumah. Ia jejerkan batang-batang singkong itu di bentangan bambu yang sudah ia buat sebelumnya. Berharap sinar matahari dapat segera mengeringkan batang-batang singkong itu, agar bisa dipergunakan istrinya untuk memasak. Bahan bakar cukup sulit didapatkan di desa ini, selain itu juga mahal harganya. Bahkan satu liter minyak tanah kini lebih mahal daripada seliter bensin. Untuk itu, ia gunakan batang pohon singkong yang sudah kering dan juga blarak untuk memudahkan tersulutnya api agar membuat keren-nya hidup.

"Pak, ngeteh?", tanya istrinya yang beberapa saat lalu baru sampai dari ladang. Seperti yang direncanakan selama di perjalanan pulangnya, ia mau istirahat sebentar sambil nyeruput kopi.

"Yoo", jawab laki-laki itu sambil menata batang-batang tanaman singkong yang akan dijemur.

Sesaat kemudian sang istri sudah keluar membawa nampan berisi satu gelas kopi dan satu gelas teh. Di tangan kirinya, satu piring singkong yang sudah direbus lalu digoreng tersaji dengan asap yang masih mengepul, panas. Ia pun meletakkan keduanya di dipan belakang rumah. Dipan yang terbuat dari bambu untuk kaki penyangganya dan dipan kayu akasia sebagai alasnya.

"Pak, ngasoh riyen. Mumpung panas wedange", sang istri memanggil suaminya yang masih sibuk dengan batang tanaman singkongnya.

"Yoo", lelaki itu masih terus saja menyelesaikan pekerjaannya. Tanggung.

***


Keterangan singkat:
Kendit : Selendang panjang yang biasa dipergunakan orang-orang jawa untuk mengencangkan perutnya, terutama digunakan oleh perempuan yang sudah tua (simbah) dan orang yang habis melahirkan.
Blarak : Daun kelapa kering yang digunakan untuk bahan bakar tungku.
Keren : Tungku masak yang terbuat dari tanah liat dengan bahan bakar kayu, pengganti kompor.










Komentar

Postingan Populer