Suka-Suka Allah saja lah yaaa....

Suatu hari saya bertanya-tanya, sebetulnya apa maksud dari meluruskan niat pernikahan itu? Banyak kemudian jawaban dari teman-teman dan juga di beberapa tulisan hanya menjawab sebatas bahwa meluruskan niat dalam pernikahan itu adalah ketika kita hanya mengharap ridha Allah swt saja bukan hal-hal lain apa lagi yang sifatnya hanya duniawi. Apakah hanya seperti itu saja pengertiannya? Untuk saya yang cetek keimanannya tentu jawaban seperti itu sangat abstrak dan umum. Apa lalu ukurannya jika niat menikah dalam diri ini telah betul-betul hanya mengharap ridha Allah swt saja? Sementara diri ini begitu memiliki banyak pengharapan dari pernikahan tersebut terlebih kepada calon suami yang diinginkan.

Jujur saja pertanyaan ini mengusik ketenangan hati dan fikiran. Terlebih suatu hari seorang teman menyampaikan kegalauannya atas ajakan seorang ikhwan untuk berta'aruf dengannya. Saat itu jika saya berada di posisi teman saya, nasihat yang paling tepat adalah terkait bab niat. Dan kenyataannya tahapan niat inilah yang akan menentukan urusan selanjutnya. Sulit karena niat yang salah, mudah karena niat yang benar. Jadi, begitu penting masalah ini untuk diketahui ilmunya. Sampai suatu pagi, saya menemukan apa yang dimaksud dengan bab meluruskan niat dalam pernikahan itu adalah seperti ini. Penjelasan ini saya tulis ulang dari apa yang saya baca (beberapa referensi) dengan gaya bahasa dan pemahaman saya sendiri. Untuk itu, izinkan saya menuliskannya.

Tujuan menikah sesuai dengan syari'at atau tuntutan agama itu banyak. Teman-teman bisa menemukan banyak referensinya di internet atau buku-buku tentang fiqih munakahat. Salah satunya saya menemukan di halaman website ini http://fazzams.com/meluruskan-niat-tujuan-menikah-dalam-islam/. Isinya antara lain menerangkan bahwa tujuan menikah menurut syari'at agama itu adalah mengikuti sunnah rasul, mencari keberkahan, mencari keridhaan Allah swt, sebagai salah satu estafet dakwah dan masih ada lagi lainnya. Tapi kemudian pertanyaannya bagaimana dengan tujuan menikah pada tiap individu itu? Tujuan menikah seseorang itulah yang berbeda-beda, dalam hal ini kita sebut dengan niat seseorang dalam menikah. 

Niat seseorang menikah tergantung diri seseorang tersebut. Antara orang yang satu dengan yang lainnya berbeda. Si A menikah semata-mata karena ingin melepaskan status lajang dimana teman-teman sebayanya sudah memiliki istri dan anak-anak. Si B menikah karena sudah diburu-buru orangtua bahkan didesak karena sang Ayah sakit keras dan divonis meninggal tidak lama lagi. Si C menikah karena khawatir perempuan yang disukainya diambil dulu oleh laki-laki lain. Si D menikah karena bosan hidup sendirian sementara ia telah memiliki banyak harta yang berlebih jika hanya digunakan untuk dirinya sendiri. Atau si E yang menikah karena ingin menjaga kesucian farji' agar ia dapat menjalani hidup dengan ketentraman dan ketenangan. Bagaimana dengan anda? Apa niat anda ingin menikah? Sampai disini ternyata tujuan menikah antara apa yang disyari'atkan oleh agama bisa berbeda dengan tujuan menikah pada diri tiap individu manusia. Walau pada hakikatnya menikah adalah suatu kebaikan, tapi hasilnya akan berbeda antara si A dan si B jika niat yang melandasinya itu berbeda. Karena apa?

Selanjutnya, lalu seperti apakah niat yang baik, niat yang lurus ketika seseorang itu ingin menikah? Dari sini saya ingin mengutip apa yang ditulis oleh ustadz Burhan Shoddiq dalam fanpage di facebooknya. Anda pun bisa membacanya di alamat ini https://www.facebook.com/notes/burhan-sodiq/bersiaplah-berlayar-di-lautan-pernikahan/10151506726682884/. Dari taujih yang beliau tuliskan, ada begitu banyak niat baik yang bisa menjadi landasan kita dalam menikah. Hal ini disesuaikan dengan kondisi masing-masing diri kita, mana yang paling dekat dengan kondisi kita. Dan pada kenyataannya memupuk atau memperbanyak niat baik dalam menikah adalah sesuatu yang tidak dipersalahkan. Seperti misalnya karena anda ingin menikah dalam rangka saling menguatkan di jalan dakwah? Menikah agar dapat lebih bersemangat dalam bekerja dan beramal? Menikah agar dapat saling menasihati dan menguatkan azzam dalam ibadah dan jihad? Menikah agar dapat menambah dan menguatkan hafalan Qur'an? Menikah agar dapat memuroja'ah ulang materi-materi tarbiyah bersama pasangan? Menikah agar dapat berdiskusi tentang persoalan-persoalan umat? Menikah agar menghindari godaan sms-sms nakal dari lawan jenis? Dan masih banyak lagi niat baik dalam menikah dimana pada intinya adalah kita ingin menjaga izzah atau kemuliaan diri kita dari banyaknya maksiat-maksiat yang terpampang di depan mata.

Di bagian akhir ini saya ingin menulis ulang kisah seseorang ketika ia berta'aruf dengan seorang ikhwan. Dan kisah ini memberikan saya pemahaman yang lebih mendalam tentang makna keikhlasan dalam menikah. Ya, sulit rasanya ketika membayangkan seseorang yang tengah ta'aruf dengan kita, dimana antara diri kita dan dia sudah memiliki kecocokan atau muncul chemistry, lalu tiba-tiba ta'aruf itu tidak bisa dilanjutkan karena satu dan lain hal. Kekecewaan pasti akan muncul di tengah-tengah hati kita, apa lagi bukan karena diri kita atau ikhwan tersebut yang menjadi penghambatnya. Bisa karena orang ketiga seperti orangtua, murabbi, orang lain, atau karena jama'ah berkata tidak. Wow, ngeri!!! Tapi kekecewaan itulah yang menandakan keikhlasan diri kita atas niat kita menikah. Ketika kekecewaan itu kemudian mampu kita kendalikan dengan mengembalikan kepada yang Maha Mengatur segalanya, yang Menentukan dan Menetapkan takdir bagi hamba-hamba-Nya maka inshaallah niat kita menikah itu sudah betul-betul mengharap ridha Allah swt. Namun sebaliknya, ketika kekecewaan itu berkembang menjadi amarah, benci, dendam dan memutuskan tali silaturrahim maka hal tersebut mengindikasikan bahwa niat kita menikah selama ini masih belum betul-betul karena mengharap ridho Allah swt. Dan seringkali, banyak pasangan diuji dengan hal serupa. 

Sejatinya, ketika niat menikah kita sudah betul-betul karena Allah swt, rasa berat hati itu tidak akan timbul ketika proses ta'aruf itu tidak dilanjutkan. Jangankan ta'aruf, setahap lagi menuju akad pun kita akan lapang menerimanya. Bukankah segala sesuatunya sudah diatur oleh Allah swt? Dan kita adalah makhluk yang serba terbatas, terbatas pengetahuan kita atas hal-hal yang tak dapat dilihat secara kasat mata, tentang masa depan dan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya atas ketetapan Allah swt saat ini. Untuk itu, tidak ada cara lain selain keridhaan diri menerima ketetapan dan mengembalikan sepenuhnya kepada Allah swt atas apa yang ditetapkan untuk diri kita. Di sisi lain, ketika perjodohan itu batal, mungkin saja Allah swt sedang menyiapkan sesuatu hal yang lebih baik untuk diri kita. Barangkali juga sedang menyiapkan pengganti yang lebih baik. Bukankah begitu? Suka-suka Allah swt saja mengaturnya, apa yang harus disedihkan? Apa yang harus disesalkan? Kita hanya harus pandai-pandai melatih diri tentang keikhlasan dan keridhaan.


Komentar

Postingan Populer