pelangi hidup

Fidya menangis sesenggukan saat ia mengendarai motor maticnya. Selepas dhuhur ini ia berniat ke perpustakaan kampus. Hanya ingin disana saja. Memanfaatkan jaringan internet gratisan. Maklum, rencana beli modem belum jadi ia laksanakan. Tesendat biaya untuk sementara waktu ini. Siang ini ia ingin searching jurnal sebanyak-banyaknya. Sekolah magister benar-benar menuntutnya mandiri setengah mati. Sungguh berbeda dengan sekolah S1 yang dalam satu kelas pasti banyak sekali temannya. Lha ini, 10 jari masih sisa tiga untuk menghitung teman sekelasnya. Tadi, saat fidya mengendarai motornya, tepat diperempatan, tanpa menoleh kanan dan kiri fidya menerabas saja jalan yang terlihat lengang olehnya. Saat ditengah jalan itulah, dari arah kiri ternyata ada mamas-mamas yang membawa gerobak galon melintas. Hampir saja ia tertabrak oleh mamas itu. Untung saja mamasnya segera ngerem mendadak. Fidya pun berlalu saja tanpa berhenti melihat situasinya. Ia melihat dari spion, tidak ada apa-apa. Terlihat di kaca spionnya, mamas tukang galon berbelok ke gang dan mengikutinya. Namun fidya hanya berfikir, ternyata mamasnya mau lewati jalan yang sama dengannya. Sambil berjalan pelan, fidya masih sesekali melihat kaca spionnya. Tepat ditikungan, ternyata mamas tukang galon itu sudah tidak terlihat. Mungkin mamas tukang galon berhenti di warung tempat biasanya ia mensuplai galon. Setidaknya itu hanya dugaan fidya. Tiba-tiba saat di tempat yang sepi pengendara motor, terdengar oleh fidya ada teriakan yang cukup keras.

"mbak".

Tanpa melihat kaca spion, fidya menengok ke belakang. dan ternyata mamas tukang galon itulah yang memanggilnya. fidya pun menghentikan motornya.

"mbak, lain kali kalau mau nyebrang itu hati-hati. lihat-lihat. Kalau tadi mbak yang ke tabrak gimana? mbak sendiri kan yang rugi", mamas itu terlihat seperti marah kepada fidya. Ia berbicara dengan logat jawa yang masih terdengar jelas. Wajahnya masih muda, berjenggot, tinggi, kurus dan berpeci. Widya membuka kaca helm dan melepaskan maskernya.

"iya mas, maaf ya mas", tak ada kata yang pas diucapkan dalam situasi seperti itu kecuali kata permohonan maaf. Dalam hati fidya mengakui ia memang salah. Entah kenapa tadi saat akan menyebrang ia tak menengok kanan-kiri. Tidak seperti biasanya yang selalu hati-hati. Ia sendiri pun jengkel kepada orang yang blunas-blunus ketika akan berbelok atau akan menyebrang. Padahal, saat akan melintas perempatan tadi, hati kecilnya sudah mengingatkan.

"mbanya tadi kok malah lari, padahal sudah dipanggil-panggil", mamas tukang galon masih merasa jengkel kepada fidya. Sambil memperhatikan fidya mamas tukang galon sekali-kali melihat motor fidya. mungkin ia melihat plat motor fidya.

"iya mas, maaf ya mas. Saya mohon maaf. Saya tadi tidak mendengar kalau mas nya panggil saya", sesungguhnya fidya benar-benar gugup. Baru seminggu disini sudah dimarah orang sini gegara tidak hati-hati saat menyebarang. Kalaupun ia harus mengeluarkan uang, kalaupun tukang galon ini mau minta uang sebagai ganti rugi, fidya sudah siap untuk melepaskan jatah bulanannya itu.

"oh, tidak mendengar", mamas tukang galon berbalik arah, meninggalkan fidya. Ah... untung saja mamasnya tidak minta ganti rugi. lagipula ganti rugi buat apa? wong tidak kenapa-kenapa kok. Tidak jatuh, tidak lecet, dan tidak ada tabrakan beruntun kan? Tapi, tetap saja fidya merasa bersalah. Bagaimanapun ia mengakui bahwa peristiwa tadi murni kesalahannya. Kalau seandainya ia berperan sebagai mamas galon tadi, pastilah ia akan sama marahnya. Mungkin akan lebih marah lagi. Selama perjalanan ke kampus, fidya masih terus merasa bersalah. Tanpa disengaja, di balik kacamatanya, keluarlah air matanya.

"ya allah, maaf kan aku yang telah membuat mamas galon tadi marah kepadaku. ini memang salahku. Seandainya Engkau berkenan, aku ingin Kau beri kesempatan untuk kembali bertemu dengannya di lain waktu. Aku ingin berbuat baik kepadanya. Karena waktu yang ia korbankan untuk mengejarku tadi, kemudian memarahiku sekaligus mengingatkanku, pastinya telah membuat waktunya untuk memperoleh rezeki-Mu hilang sesaat. Seandainya dia telah berkeluarga, maka berikanlah rezeki yang lebih banyak hari ini untuknya. Kalaupun belum, berikanlah rezeki juga kepadanya, yang halal, berkah, dan banyak. dan juga kebahagiaan untuknya", dalam hati fidya mendoakan mamas galon tadi. demi menebus rasa bersalahnya.


***


Hari ini fidya berencana pergi ke rumah Nadia teman liqo'nya. Nadia mengajaknya karena hari ini ada tasyakuran di rumahnya selepas magrib. Sekalian supaya fidya tahu rumah saudara barunya itu. Pukul lima sore mereka berangkat ke Bantul, rumah nadia. Tiga puluh lima menit dari kampus. Mereka berboncengan karena kebetulan hari ini nadia tidak membawa motor ke kampus.

"nadia, rumahmu jauh juga ya. malam terus donk kamu sampai rumahnya", fidya nampak terasa pegal dibonceng miring. Entah kenapa, panjatan kaki untuk penumpang belakang motor matic ini kurang proporsional. Kalau untuk duduk miring, kaki nggak pas dengan panjatannya.

"iya begitulah, hapalkan jalannya ya fid. biar kapan-kapan kalau pengen ke rumahku sendiri kamu nggak nyasar", nadia berharap suatu saat fidya dapat berkunjung ke rumahnya. Sore ini, lalu lalang kendaraan kota yogya memang cukup ramai. Dan sepertinya setiap sore hari begitulah kondisinya. Lalu lalang banyak mahasiswa dan pekerja yang baru pulang. yogya sebenarnya kota kecil. Luasnya kalau dibandingkan satu kabupaten di lampung, tempat fidya berasal, belum seberapanya. Tapi kendaraan roda dua benar-benar penuh. Saat di lampu merah fidya menghitung-hitung. Kira-kira ada dua puluh motor di lampu merah ini. Dan setiap pengendara itu single, alias nggak membonceng siapapun. Kalau saja mereka itu saling berboncengan, maka akan mengurangi sepuluh motor yang ada di jalanan ini. Kalau sehari saja menghasbiskan satu liter bensin seharga 6500, maka kalau sepuluh motor akan mengurangi bensin seharga 65.000. Itu baru di satu lampu merah. Kalau seandainya ada 25 lampu merah, maka 25 lampu merah itu dikalikan dengan 10 motor, berarti 250 motor akan berkurang. Kalau 250 motor dikalikan dengan 6500 maka akan menghemat bensin seharga 1.625.000 dalam waktu satu hari. Hah, itu baru sehari. kalau seminggu? sebulan? setahun? itu baru satu kota, kalau satu provinsi, satu pulau, satu negara? Entahlah.

"assalamu'alaikum", nadia dan fidya sudah sampai rumah tepat saat adzan magrib tiba.

"bu, ini temanku. namanya fidya. malam ini dia aku ajak minep disini ya bu", nadia memperkenalkan fidya kepada ibunya. Sebelumnya, nadia sudah pernah menceritakan tentang fidya. ia yang menemukan STNK dan SIM kakaknya. Saat itu, nadia dan fidya berkenalan di liqo'at perdananya. menjelang pulang liqo' fidya mengumumkan kalau ia menemukan STNK dan SIM di jalan, di perempatan, saat dia akan pulang ke kosan. saat dibaca alamat yang punya ternyata di bantul rumahnya. Nadia pun ikut melihat-lihat, dan ternyata itu milik kakaknya.

"assalamu'alaikum bu. nama saya fidya", fidya tersenyum sambil mengulurkan tangannya. Ia berharap semoga bisa menjadi tamu yang sopan. Dan tentu saja, berharap bisa tidur nyenyak. Karena untuk perihal menginap di rumah orang sesungguhnya fidya bukan orang yang gampang kerasan.

"iya nak, saya ibunya nadia. jauh ya rumah nadia? Pasti capek. Monggo, lenggah dulu. Tak buatin teh anget ya", alhamdulillah sapaan yang menghangatkan. Fidya membatin. Usai sholat magrib dan tilawah sebentar. Nadia dan fidya langsung ke dapur. Mempersiapkan menu makanan pengajian malam ini. Lontong pecel. Wah, bau bumbunya saja sudah membuat perut fidya bunyi. Maklum saja siang tadi fidya belum sempat makan. Ia menahannya. ada lima puluh piring yang disiapkan. Lontong pecel khas yogya. Lontong daun diiris kecil-kecil, ditambahi toge, daun bayam, kenikir, dan kacang panjang yang sudah direbus. Disiram bumbu kacang dan ditaburi kerupuk singkong. Ditambah lauk tempe goreng yang ditepungi. Emm... susunannya membuat fidya ngiler. Sabar ya perut. Tahan dulu. malu donk kalau mau minta. Meski sebenarnya fidya terlihat gelisah juga.

"nadia, sebenarnya ini pengajian apa sih? banyak banget ni buat makanannya", fidya bertanya kepada nadia sambil menaburi kerupuk di atas lontong pecel di piring yang ia pegang.

"peringatan meninggalnya bapakku fid. yang ke-100 hari. Bapakku meninggal karena sakit. Sepeninggal bapakku, masku yang menggantikannya jadi kepala rumah tangga. Sekaligus tulang punggung ekonomi keluarga. Seharusnya dia masih kuliah. Tapi setahun ini cuti dulu cari kerja. Kerjanya sih nggak netap. Serabutan. Pernah jadi pelayan kafe, pernah di hotel jadi office boy, kadang loper galon, kadang juga jadi buruh di sawah. Aku kasihan fid, kalau bukan karena beasiswa dan desakan masku lanjutin kuliah ini, aku juga nggak akan ambil. Mending kerja". Tanpa diminta nadia menceritakan kondisi keluarganya yang sesungguhnya. Fidya merasa shock juga. Karena ternyata kondisi keluarga nadia tidak seperti yang dibayangkannya. Nadia anak yang periang dan suka menolong. Seperti yang ia kenal, nadia tidak pernah mengeluh untuk sesuatu hal. Di kelompok liqo'at nadia selalu aktif bertanya dan menjadi inspirasi teman-temannya. Karena nadia memiliki banyak hafalan dan selalu full dalam mengisi muttaba'ah. Sungguh fidya tidak mengira. Bahkan tadi saat sampai di rumah nadia, ia pun sempat tertegun melihat kondisi rumah nadia yang ala kadarnya. meskipun terbuat dari bata, tapi belum disemen dinding dan lantainya. jendela rumahnya pun masih dari kayu. sementara dapurnya terbuat dari anyaman bambu. saat masuk ke rumahnya, tidak ditemuinya kulkas, mesin cuci,apalagi ac. hanya ada tv yang jadi penghibur kala malam tiba. 


***


Pengajian telah usai. Saatnya berberes. Satu per satu warga sudah berpamitan. Nadia mengumpulkan piring dan gelas bekas makanan. Fidya mengikutinya. Ah... suasana yang nyaman. Memang, tinggal di kampung itu menenangkan. Jauh dari hiruk pikuk keramaian. Suara bising motor nggak ada. Sunyi dan gelap. Tapi sungguh mendamaikan hati.

"kita makan yuk fid. pasti udah laper banget kan? Maaf ya... tadi kita sampai rumah sudah magrib. habis magrib pengajian dimulai. Yuk makan yuk", nadia sudah menduga pasti fidya kelaparan. Ia sempat dengar tadi kalau perut fidya berbunyi.

"hehehe... nggak apa-apa nadia. yuk makan. ibu mana?", tak lupa fidya menanyakan ibu fidya. Makan bersama lebih enak. Eh, tapi tunggu dulu. Mamas galon itu. kenapa ada disini. Di rumah nadia. Saat akan mengambil piring, sekilas fidya melihat mamas galon itu masih berdiri di ruang tamu. Membereskan tiker dan kursi. Benar. Fidya masih ingat betul wajahnya. Mamas galon, doaku terkabul. Aku bertemu denganmu disini. Hanya satu nazarku saat itu. Aku ingin....


Komentar

Postingan Populer