aisya,,, anakku...

“Ummi, kenapa sih aisya mesti dibangunin shubuh-shubuh gini. Aisya kan masih ngantuk”, sebuah jawaban dari anakku yang ku usik kenyamanan tidurnya.

Mungkin ia tengah bermimpi. Bertemu peri-peri cantik yang bersayap. Bermain di taman bunga yang wangi dan berwarna-warni. Aku hanya tersenyum padanya. Ku rasa jika pun ku jelaskan sepagi buta ini, belum terkoneksi dipikirannya. Bahkan ia bangun dari tempat tidur dan berjalan dengan masih menguchek-ngucek matanya. Rambutnya yang sebahu, terlihat tak beraturan.

Usai sholat shubuh berjama’ah, aku dan anakku membuka mazhab. Al-qur’an pedoman hidup seluruh umat. Suamiku, yang baru pulang dari masjid menyusul untuk membaca al-qur’an. Subhanallah, nikmat yang luar biasa. Sepagi ini, bahkan langit pun di luar sana masih gelap, dan udara pun begitu dingin. Alunan suara al-qur’an telah menyatukan hati kami dalam kedamaian dan juga kebahagiaan yang sebenarnya. Terimakasih ya allah atas nikmat-Mu hari ini.

 “abi, kenapa ayam bangun pagi-pagi bi? Itu, jam segini suara ayam sudah terdengar ramai”, anakku, aisya membuka diskusi pagi ini.

Begitulah, setiap pagi selepas sholat shubuh dan tilawah Al-qur’an, kami sempatkan untuk berdiskusi sebentar sebelum aktivitas pagi di mulai. Dan sejak anakku sudah bisa bicara, diskusi akan diawali dengan pertanyaan darinya. Lagi-lagi aku tersenyum mendengar pertanyaannya, dan aku pun mendekat pada mereka dengan membawa sepiring pisang goreng dan tiga gelas susu coklat. Hem… yummy…

“karena ayam tahu bahwa rahmat allah itu turun di pagi hari. Ayam juga bertugas sebagai alarm untuk membangunkan manusia yang masih tertidur pulas. Mangkanya suara ayam itu lebih keras dari suara weckernya aisya kan?”, mas arya menjelaskan dengan seksama.

“berarti aisya harus berterimakasih ya bi sama ayam. Kan ayam udah bangunin aisya. Ingetin aisya buat sholat shubuh sama ummi”, anakku mulai berimajinasi. Dan mas arya menganggukkan kepalanya tanda setuju.

Kemudian berkata, “yup, pinter anak abi”. Lalu diikuti towelan jarinya ke ujung hidung aisya.


***


Suatu malam selepas sholat magrib. Saat aku dan mas arya sedang di ruang tamu mendiskusikan agenda pengajian yang akan kami ikuti minggu besok. Kebetulan kami berdua termasuk dalam panitia penyelenggara.

Tiba-tiba aisya datang dan dengan jutek ia berkata, “abi, kenapa si ridho itu nakal banget sama aisya. Tadi waktu di sekolah ridho itu gangguin aisya. Jilbab aisya di tarik-tarik sampai copot. Aisya marah abi. Itu kan aurat aisya”, anakku bercerita sambil terlihat sedih. Seolah hatinya terluka, sesuatu yang ia jaga, diusik oleh temannya. Abinya serius mendengarkan.

“masyaallah, kenapa ya aisya? Mungkin ridho sedang khilaf. Atau mungkin ridho lupa baca niat waktu ke sekolah. Kalau niatnya menuntut ilmu karena allah pasti ridho nggak gangguin aisya. Iya kan?”, mas arya masuk dengan memberikan pemahaman baru. Bahwa sesuatu yang akan kita lakukan, apalagi sebuah kebaikan maka harus diawali dengan niat yang benar. Supaya dapat pahalanya.

“aisya, itulah kenapa seorang perempuan harus menutup auratnya. Sudah menutup aurat aja masih digangguin. Apalagi kalau tidak pakai?”, aku sedikit menegaskan. Bagiku dan mas arya, pemahaman akan aurat bagi aisya harus diberikan sedari kecil. Agar saat ia dewasa, tidak ada keraguan lagi dalam berhijab. Karenanya, sejak aisya bayi aku telah membiasakannya memakai jilbab. Kini, kalau ia akan keluar rumah, tanpa disuruh ia akan mencari jilbabnya sendiri.

Bahkan seringkali berkata “tunggu abi, aisya kan belum pakai jilbab”.

“oh gitu ya mi, kalau gitu besok kita ke toko nayla ya ummi”.

“lho, memang kenapa kok ke toko nayla?”, tanyaku yang belum nyambung.

“beliin aisya jilbab lagi. Kan aisya harus menutup aurat. Iya kan bi?”, dengan polos aisya menjawab enteng. Aku dan mas arya saling pandang, dan kami pun tersenyum. Aisya, pintar sekali kamu nak. Satu minggu lalu kan habis dibeliin jilbab sama ummi, aku membatin.


***


Minggu pagi yang cerah. Secerah senyum di wajah aisya dan mas arya yang sedang bersepeda. hari ini jadwal kami untuk berolahraga bersama. Setiap hari minggu di minggu pertama dan ketiga di setiap bulan. Sedangkan setiap hari minggu di minggu kedua dan keempat, adalah jadwal rutin kami untuk ikuti kajian pagi.

Aku melihat mereka sambil bersender di bawah pohon. Sejuknya. Lapangan merdeka ini memang selalu ramai. Sebuah alun-alun yang cukup banyak manfaatnya. Terutama untuk bercengkerama bersama keluarga. Seperti pagi hari setiap weekend. Bersepeda, lari bersama, badminton bareng, dan juga ada senam yang boleh diikuti oleh siapa saja. Ada juga permainan anak-anak, odong-odong, kereta-keretaan, andong, mandi bola, ayunan, perosotan, dan juga njot-njotan.

Ku lihat di sekeliling, sepertinya banyak juga pasangan muda. Pedagang makanan pun terlihat berbaris rapi bersama gerobak dagangannya. Bubur ayam, lontong pecel, lontong tahu, soto, dan nasi uduk sepertinya adalah makanan khas di pagi hari. Alhamdulillah, aku selalu membawa bekal kalau olahraga seperti ini. Roti bakar isi cornet, susu, dan juga berger daun salad plus keju. Kupanggil aisya dan mas arya untuk merapat.

“ummi, abi, aisya mau dedek”, tiba-tiba aisya nyeletuk. Terlihat serius meskipun mulutnya mengunyah roti bakar.

“liat tuh bi, mi, kalau punya dedek kan enak. Aisya ada teman bermain”, sambil menunjuk ke salah satu sudut. Terlihat keluarga ummahat yang sedang berolahraga juga. Tiga orang anak. Satu mungkin seusia aisya, dua sudah bisa jalan tapi sepertinya belum bisa berbicara. Mereka berkejaran bersama abinya. Dan anak yang satu lagi di gendongan umminya. Ku lirik mas arya, aha.. ia pun sudah mengharapkan itu dari dulu.

“mmm… kalau aisya punya dedek. Kira-kira aisya pengen jadi kakak yang seperti apa?”, tanyaku menyelidiki. Bagiku, jawabannya adalah sebuah janji yang akan ia ingat suatu saat nanti. Mas arya juga penasaran. Dari belakang, ia memberi jempol kanannya padaku.

 “aisya pengen jadi kakak yang baik. aisya mau berbagi sama adek aisya nanti apa yang aisya punya. Aisya juga janji ummi, aisya akan ngajarin adek aisya ngaji”, celotehnya semangat sekali.

“subhanallah, kalau gitu aisya banyak berdoa ya sama allah. Supaya segera dikasih adek yang sholih dan sholiha kayak aisya”, jawabku penuh kebanggaan pada aisya. Sepertinya ia sudah siap kalau diberikan saudara baru.


***


Begitulah kisah rasulullah Muhammad saw. Beliau adalah seorang rasul yang sangat mengasihi ummatnya. Ia juga begitu menyayangi anak-anak kecil. Maka anak-anak kecil itu pun ingin selalu bersama rasulullah. Karenanya saat berita duka itu datang, saat rasulullah saw dikabarkan meninggal dunia, seluruh ummat muslim saat itu sangat berduka dan dalam kesedihan. Tapi ada satu nasihat yang diberikan rasul kepada umatnya untuk diingat dan diamalkan, adalah jangan lupa tegakkan sholat dan jangan tinggalkan al-qur’an. Kembalilah pada al-qur’an dan sunnahnya…

 Itulah penutup cerita ku pada aisya menjelang tidurnya malam ini. Kisah tentang rasulullah Muhammad saw yang setiap aku membacakan setiap episode cerita hidupnya, hatiku pun turut terharu. Ada kerinduan yang dalam padanya. Kulihat aisya sudah terlelap. Tangannya masih menggenggam boneka kesayangannya, marsha. Aku naikkan selimutnya pada tubuhnya. Dan tak lupa ku kecup keningnya lama. Tak lupa aku berdo’a untuknya, semoga engkau dijadikan anak yang sholiha nak. Yang patuh dan taat pada orangtuamu. Yang menjalankan perintah tuhanmu dengan ketaatan yang penuh. Semoga engkau selalu sehat dan ceria. Engkaulah pelipur lara bagi ummi dan abimu. Tidak ada kebahagiaan bagi orangtua selain melihat anaknya tumbuh dalam lingkungan islami. Dalam ketaatan kepada tuhannya. Dan, kabar baik untukmu aisya, insyaallah engkau akan dikaruniai seorang adik.




Komentar

Postingan Populer