Istri Kedua
“Anakku baru satu Ran, baru usia tiga tahun”, Sinta berucap
sambil menoleh ke kanan memperhatikan dua orang beberapa meter darinya sedang
bermain dan bercanda bersama.
“Anakmu ganteng Sin, mirip dengan kamu”, Rani pun menoleh
kearah yang sama dengan Sinta. Mereka berdua tersenyum, sesaat kemudian saling
memandang.
“Mungkin kamu kaget Ran, setelah lama tak bertemu, kini kau
tahu bahwa aku adalah istri kedua dari suamiku. Barangkali kau pun memiliki
kesan negatif terhadap statusku ini”, ungkap Sinta mengawali pembicaraan.
Seolah Sinta tahu bahwa ada keingintahuan dari raut sahabatnya yang sudah tujuh
tahun tidak bertemu.
“Aku pun tidak mengerti mengapa aku bisa menerima Mas Bram
menjadi suamiku. Padahal, beberapa lelaki lajang pernah datang menemui kedua
orangtuaku untuk melamarku”, Sinta bercerita dengan nada datar.
“Iya Sin, jujur saja aku kaget mendengar kabar ini dua tahun
yang lalu dari Ve. Kau bukanlah perempuan yang tak pandai bergaul dengan
lelaki. Bahkan saat di kampus dulu kau adalah primadona Sin”, Rani memegang
tangan Sinta. Itu memang benar, Banyak kakak tingkat dan teman sekelas Sinta
yang mengajukan diri menjadi pacar Sinta. Tapi tak satu pun yang diterima.
Sungguh kasihan para lelaki itu.
“Tak mungkin kau tak memiliki alasan menerima lamaran lelaki
sudah beristri Sin. Pasti kau memiliki pertimbangan yang tak cukup dimengerti
oleh orang lain. Apa sebenarnya pertimbanganmu itU?”, Tanya Rani yang
sebenarnya sejak mendengar berita itu ia sangat penasaran. Namun ia tak mau
berburuk sangka atas pilihan hidup sahabatnya itu.
“Saat itu, Mba Isah istri pertama suamiku sengaja menemuiku.
Kau tahu bahwa Mba Isah adalah kakak tingkat kita dulu yang cukup dekat
denganku. Aku betul-betul tak mengira ketika dia tiba-tiba memegang tanganku
dan memohon padaku, meminangku untuk suaminya Mas Bram”, Sinta sekali lagi
menoleh pada suami dan anaknya yang
sedang bermain bulu tangkis di halaman gor yang luas.
“Sungguh aku tak mengerti mengapa seorang istri bisa berbuat
begitu. Aku tegas menolaknya Ran sebelum ku tahu alasan ia memilihku sebagai
madunya”. Suasana hening. Sementara semilir angin menerbangkan hijab Rani dan
Sinta, dua sahabat yang tak sengaja bertemu di GOR saat hendak berolahraga
sore.
“Lalu, apa alasan mb Isah Sin?”, naluri wanita untuk hal-hal
seperti ini memang selalu menaik. Penasaran yang keterusan. Tak apalah, Rani
membatin akan ada hikmah kehidupan yang ia bisa ambil dari kisah sahabatnya
itu. Bukankah lebih baik mendengar langsung dari si pelaku utama daripada
mendengar gosip yang simpang siur itu?
“Mb Isah telah diangkat rahimnya Ran sebelum mereka
dikaruniai anak, tepatnya sejak usia pernikahan mereka menginjak kelima tahun.
Kau bisa bayangkan, betapa sulitnya bagi mb Isah melalui hari-hari? Siksa batin
yang tak akan pernah mampu terlewati jika yang mengalami itu adalah aku. Aku sangat prihatin”, Sinta mengenang
peristiwa itu sambil berkaca-kaca.
“Karena itu kau menerimanya?”, Rani mencoba memastikan.
“Bagaimana pun kondisinya, wanita mana yang rela menjadi
istri kedua? Normalnya wanita, adalah
menjadi permaisuri bagi suami kan Ran? Bukan ratu yang kadangkala
seorang suami bisa sampai dua atau tiga memilikinya. Tapi permaisuri hanyalah
satu”, jawab Rani dengan ketegasan. Memang seringkali orang menilai dari hati
si istri pertama. Istri pertama yang seolah seperti tertindas karena suami
memiliki istri lain. Istri pertama yang seolah tidak dihargai atas jerih payah
melayani suami. Apalagi ketika istri kedua yang dipilih adalah lebih muda dan
lebih cantik. Lebih langsing dan lebih anggun.
Padahal segalanya harus dilihat secara adil. Rani masih terdiam. Sabar
menunggu kalimat-kalimat berkutnya dari Sinta.
“Mungkin itu bisa menjadi salah satunya mengapa aku akhirnya
menerima Mas Bram. Tapi aku tetaplah wanita yang memiliki kriteria calon suami
Ran. Mas Bram orang yang baik. Lelaki sholih yang ku kenal. Pantas jika dia
mendapatkan Mba Isah yang menurut mataku selama ini adalah wanita sholiha bak
bidadari. Aku merasa, Mas Bram dapat berlaku adil baik terhadapku maupun
terhadap Mba Isah. Aku menilai ia mampu membahagiakan kami berdua. Bukan dari
materi, tapi dari kezuhudan sikapnya aku menilainya. Tak mungkin aku
mementingkan perasaanku sendiri. Tak ingin aku menikahi lelaki yang menyakiti
hati wanita lain Ran. Terlebih ia adalah istrinya sendiri”, Rani meneteskan air
mata. Sungguh mengesankan kisah hidup sahabatnya itu. Tak tahu apa yang terjadi
jika itu dirinya yang mengalami.
“Kau tahu? Sejak awal aku menikah, kami bertiga hidup satu
rumah. Bukankah itu pemandangan yang tak umum Ran? Tapi begitulah. Mba Isah dan
Mas Bram begitu baik padaku. Mereka bisa membimbingku menjadi seperti sekarang ini. Aku tak pernah merasa tersakiti
Rani. Justru sebaliknya, aku kadang merasa malu terlebih dengan Mba Isah.
Bahkan ia menganggap anakku seperti anaknya sendiri”, Sinta menutup ceritanya
dengan air mata. Sungguh Rani tak mengira sahabatnya sekuat itu. Sinta yang
Rani kenal, adalah seorang wanita tomboy yang cantik. Bahkan dulu ia tak
berhijab. Wanita yang cuek dengan
penampilan apa lagi urusan hati. Selama mengenal Sinta, tak pernah sekalipun
Sinta berhubungan denga lelaki walau banyak yang menyukainya. “Aku mau langsung
nikah Ran”, kenangnya atas pertanyaan yang dulu sempat Rani tanyakan pada
Sinta mengapa ia menolak laki-laki yang mengajaknya kencan.
Kini keinginan Sinta terwujud. Menikah tanpa pacaran. Walau
sangat mengejutkan jalan cintanya, bagi Rani, Sinta tetaplah seorang sahabat
yang supel, selalu ceria dan tak pernah mengeluh atas sesuatu yang terjadi
padanya.
“Sampaikan salamku untuk Mbak Isah dan Mas Bram Sinta. Aku
ingin sekali berkunjung ke rumahmu. Tapi tak sempat jika hari ini. Jangan lupa
datang ke pernikahnku satu minggu lagi ya. Beruntung sekali aku bertemu
denganmu sore ini”, ucapan selamat tinggal dari Rani yang terburu-buru pulang.
Satu keyakinan yang harus ada dalam setiap diri seseorang adalah bahwa Tuhan
telah menentukan jalan bertemu belahan jiwa. Seperti apapun itu caranya, yakini
saja bahwa itulah jodoh terbaik.
Komentar
Posting Komentar