Tersentuh Hati di Shubuh Hari

Aku melihat jam tangan yang sudah menunjuk pada angka 4.15 pagi. Sementara aku mengendarakan mobil, Rudi tengah terlelap di samping kiriku. Waktunya sholat shubuh. Selain lelah setelah delapan jam mengendara, mungkin aku harus berhenti mencari masjid untuk sholat shubuh dan istirahat sebentar. Aku ingat tak jauh dari tempatku berada, ada masjid besar pinggir jalan yang bisa ku hampiri.

"Rud, Rudi. Bangun bangun. Kita sholat shubuh dulu ya. Sudah masuk waktu shubuh nih", aku membangunkan Rudi, setelah ku pinggirkan mobil masuk ke halaman masjid yang tidak cukup luas. Aku pun membuka pintu, dan ku lihat Rudi mengernyitkan dahinya lalu membuka pintu mobil dan mengikutiku keluar.

Ku basuh mukaku dengan air wudhu. Masyaallah segar, dan tentu saja dingin. Setelah empat rekaat sholat sunnah, qomatpun dikumandangkan.

Hanya ada lima orang bapak-bapak yang sudah sepuh. Ditambah aku dan Rudi, hanya tujuh orang saja jama'ah shubuh kali ini. Begitupun di tempat perempuan, sama sedikitnya dengan jama'ah laki-laki. Hanya empat orang, itu pun sudah mbah-mbah. Begitulah, sulit menemui masjid yang dipenuhi sesak oleh jama'ah apabila itu adalah sholat shubuh. Dimanapun, sepertinya begitu kondisinya.

Tak dipungkiri, selain dingin kadang mencekam, waktu shubuh adalah waktu yang sangat pas untuk menarik selimut kembali dan mendekap guling yang ada disampingmu. Wajar kalau berat sekali untuk menunaikannya, kecuali hanya mereka yang sudah terikat hatinya dengan masjid. Bagi mereka, waktu shubuh adalah saat-saat yang paling mengasyikkan untuk tafakkur dan mendapatkan mahabah dari sang pencipta. Dan, aku baru menikmati sholat shubuh di masjid belum lama. Baru dua minggu. Ku akui, aku merasa berat untuk memulainya. Tapi aku berharap untuk terus istiqomah menjalankannya.

Aku menikmati sholat shubuh kali ini. Suara imam yang melantunkan surat ar-rahman untuk dua reka'at membuatku begitu khusyuk menikmati sholat shubuh di perjalanan ini. Fabiayyi ala irobbikuma tukadziban. Nikmat mana lagikah yang kau dustakan?? Ayat ini seolah menyinggungku. Selalu saja aku merasa sombong akan nikmat baru yang ku peroleh, bahkan terus merasa kurang. Padahal, masih hidupnya aku di dunia ini saja adalah sebuah nikmat yang tak bisa orang lain memberikannya. Tapi seringkali aku melupakan bahwa kehidupan ini hanyalah sementara. Kesyukuranku yang tipis seringkali membuatku sombong. Hingga Allah menegurku dua bulan yang lalu dengan meninggalnya istri sekaligus anakku.

Aku menitikkan air mata. Tak sanggup rasanya bila ku ingat saat-saat itu. Mungkin terlalu dini untuk melupakannya, tapi begitu sakit aku mengingatnya. Memang ini sudah kehendak Allah, tapi aku selalu merasa akulah penyebabnya.

Usai sholat, aku dan Rudi duduk sebentar di dalam masjid. Menyandarkan badan sejenak. Meluruskan sendi-sendi yang terasa kaku.

Perjalananku dari Yogya ke Jakarta kali ini memang terasa melelahkan. Kami baru saja menunaikan tugas pekerjaan, ada proyek pembangunan gedung yang akan kami laksanakan empat bulan lagi. Sebagai kepala proyek, survei tempat dan rapat menjadi kegiatan rutin yang tak bisa ditinggalkan. Aku sengaja membawa mobil akan lebih mobile dan bisa mampir-mampir selama di Yogya.

Kulihat bapak tua bersandar di dinding yang berseberang denganku. Matanya terkejap cukup lama. Sepertinya beliau makmum masbuk. Di sampingnya tersandar sebuah tongkat untuk berjalan. Ku lihat penampilannya, ternyata kakinya buntung sebelah. Karena menggunakan celana, aku bisa mengetahuinya dengan sangat jelas.

Aku menghampirinya. Entah apa yang membuatku menghampirinya.  Hanya saja sejak kupandangi beliau, hatiku seolah tergerak untuk menyapanya.

"Assalamu'alaikum Pak", sapaku mengagetkannya. Ia pun membuka matanya dan menolehku.

"Wa'alaikumsalam mas", jawabnya sambil tersenyum padaku. Senyum yang begitu tulus.

"Bapak asli orang sini?", tanyaku penasaran.

"Iya mas, rumah saya di belakang sana. 500 meter dari masjid", ia menunjuk ke salah satu arah.
"Sepertinya mas bagus bukan orang sini. Mau kemana?", giliran bapak tua ini bertanya padaku.

"Iya pak, saya orang Jakarta, dari Yogya mau pulang ke Jakarta. Tadi sudah dengar adzan, jadi mampir sholat dulu", jelasku meski tanpa ditanya bapak tua ini juga pasti sudah tahu.

"ohhh... begitu. Sepi ya masjidnya mas", jawab bapak tua ini.
"Sudah lama saya hidup di sini, masjid ini pun sudah lama dibangun. Banyak orang telah melahirkan anak-anak, mereka tumbuh dan dewasa. Tapi saya heran, jama'ah masjid di setiap shubuh tak pernah berubah. Tak pernah bertambah", kalimat pendek ini membuatku tertohok. Aku tak menanggapi kalimatnya. Hanya tersenyum kecut, dan tertunduk.

"Sampean tahu mas, siapa orang yang paling kaya di dunia?", Bapak tua ini semakin membuatku penasaran. Tentu saja aku tahu, mereka adalah orang-orang barat dengan segala kesuksesan bisnisnya. Semua orang juga memimpikan untuk bisa menjadi orang terkaya.

"Bukan mas. Bukan yang uangnya banyak dan mobilnya banyak. Orang terkaya di dunia adalah orang yang menunaikan sholat shubuh berjama'ah di pagi hari. 'Dua reka'at sholat shubuh adalah lebih baik dari dunia dan seisinya'. Tapi kebanyakan orang tidak mengetahui, karena mata hatinya telah tertutupi dunia. Mereka berfikir hanya dunia lah ukuran kekayaan seseorang itu. Harta yang banyak, anak yang banyak, jabatan yang tinggi, dan sehatnya badan", Bapak tua ini semakin lihai menasihatiku. Seolah beliau tahu apa yang dikatakan dalam batinku.

Sungguh pelajaran yang berharga. Nasihat yang tak akan ku lupakan. Masa pertobatanku ini, memang cukup berat aku lakukan. Begitu banyak godaan mengajakku untuk kembali seperti dulu. Tak perlu kuceritakn siapa aku yang dulu. Cukuplah kehilangan istri dan anakku sebagai pukulan terberat dalam hidupku. Akan kuperbaiki semua sifatku yang dulu. Agar aku bisa bertemu istri dan anakku kelak.

Terngiang kata-kata istriku di pagi hari, lima jam sebelum ia meninggal.
"Mas, jangan mencari dunia. Cukuplah mas cintai Allah, maka dunia akan mengikutimu Mas".
Kalimat itu, entah apa maksudnya saat itu. Seolah aku malah digurui, dan kini aku mengerti maksudnya. Terimakasih istriku. Aku ridho atas pelayananmu kepadaku selama ini. Sebaliknya, maafkan aku yang belum menjadi suami terbaik bagimu.







Komentar

Postingan Populer