PANIC BUYING DALAM AKTIVITAS EKONOMI

Untuk pertama kalinya saya baru tahu ada istilah panic buying. Mungkin terbilang telat, meskipun realitanya sudah tahu, bahkan pernah mengalami sendiri. Tetapi tidak mengerti kalau yang seperti itu disebut dengan panic buying. Barangkali rekan-rekan sebagian juga belum mengerti apa itu panic buying, terutama dikaitkan dengan aktivitas ekonomi.
Panic buying adalah suatu perilaku masyarakat yang tergesa-gesa untuk membeli barang-barang yang didasarkan pada perasaan takut kehabisan barang tersebut. Contohnya adalah antrean BBM di SPBU. Seperti yang terjadi pada Agustus 2014, di beberapa daerah di Pulau Jawa sempat mengalami kekurangan bahan bakar minyak. Distribusi BBM tidak lancar. Mulanya ada permainan isu dari media-media yang cukup menekan masyarakat. Kekhawatiran akan tidak terpenuhinya kebutuhan BBM membuat masyarakat tergesa-gesa antre di SPBU-SPBU. Akibatnya terjadi permintaan BBM yang melonjak dalam waktu yang singkat. Jadilah situasinya semakin panik. Padahal jika masyarakat dapat menyikapinya dengan tenang, permintaan BBM di pasar masih bisa tercukupi. Meskipun untuk beberapa waktu harus menunggu dalam waktu yang agak lama. Tapi itu tidak akan terjadi dalam jumlah yang besar.
Panic buying juga bisa terjadi pada fenomena pembelian barang-barang yang sifatnya promosi. Barang-barang tersebut biasanya berupa produk yang dalam masa promo. Produk yang baru diterbitkan di pasar, biasanya diikuti dengan sistem penjualan promo. Beli tiga gratis satu. Atau dijual dengan harga setengahnya dalam waktu terbatas saja, misalnya dua hari. Barang-barang tersebut dapat berupa alat-alat dapur, kosmetik, dan obral pakaian, tas, sepatu atau sandal yang biasanya terjadi di swalayan atau supermarket besar. Akhirnya, tanpa berpikir panjang, konsumen tergesa-gesa membelinya karena takut kehabisan. Takut kalau masa promo sudah habis, harga barang menjadi mahal.
Contoh lainnya adalah saat pembagian raskin atau pasar murah. Masyarakat berdesak-desakan untuk mendapatkan barang yang diinginkan. Bahkan seringkali dipenuhi dengan emosi. Saling menyikut tanpa berpikir orang-orang yang ada di sampingnya. Karenanya, seringkali kita dengar atau kita lihat dalam berita-berita beberapa orang yang pingsan bahkan meninggal disebabkan karena berdesak-desakan dalam antrean.
Dalam kasus yang agregat, peristiwa panic buying ini dapat terjadi untuk kasus ekspor-impor beras. Hal itu terjadi ketika persediaan pangan dunia, dalam hal ini beras, lebih sedikit daripada jumlah beras yang diperdagangkan. Dengan kata lain terjadi acces demand terhadap beras, atau permintaan beras yang sangat besar, sementara persediaannya terbatas. Terbatasnya jumlah beras yang diperdagangkan ini disebabkan karena negara-negara pengekspor sendiri masih memerlukan beras untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya dan juga sebagai cadangan atau stok pangan dalam negerinya. Hal ini akan mempengaruhi harga pangan dunia, karena terjadi gangguan produksi beras di negara-negara produsen. Secara sederhana situasinya adalah terjadi penurunan produksi di negara pengekspor beras sementara kebutuhan dalam negeri tetap dan mungkin cenderung bertambah. Sementara itu, negara pengimpor beras juga membutuhkan supply beras dari negara pengekspor dalam jumlah yang tetap bahkan bisa saja bertambah. Kebutuhan beras di negara pengimpor tidak memperdulikan lagi berapapun harga jual beras dari negara pengekspor. Kondisi demikian menyebabkan terjadainya perilaku panic buying di masyarakat, terutama oleh oknum-oknum tertentu. Perilaku tersebut dapat berupa penimbunan beras dalam jumlah yang besar. Karena dalam kondisi tersebut sangat dimungkinkan akan diperoleh keuntungan yang besar. Kegiatan perdagangan internasional secara illegal pun dapat terjadi.
Dalam kaitannya dengan perekonomian secara makro, terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri. Indonesia sebagai negara penghasil beras harus dapat memenuhi kebutuhan pangan dalam negerinya. Hal ini harus dapat dilakukan mengingat pertumbuhan penduduk Indonesia yang terus meningkat setiap tahunnya. Terjadinya panic buying terhadap pangan ini akan berdampak besar terhadap stabilitas dalam negeri. Karenanya, perlu dilakukan usaha berupa kebijakan yang dapat menghindari terjadinya panic buying. Dengan kata lain, kestabilan persediaan pangan dalam negeri harus bisa diwujudkan secara berkesinambungan.

Komentar

Postingan Populer