Bunga Antorium... Awal Ujian Hidupku....

Semua orang tau bahwa kehidupan itu pasti ada pasang surutnya. Kadang berada diatas, kadang juga di bawah, yang ukurannya adalah kemakmuran dunia. Tapi tak banyak orang yang tahu bagaimana menyikapi kehidupan, khususnya ketika diuji dalam penderitaan. Oleh karena itu, bagi kita yang merasa belum diuji dengan cobaan hidup yang mungkin saja bisa sampai menggoyah iman, ada baiknya kita mesti banyak belajar dari pengalaman hidup orang lain. Karena di dalamnya akan banyak kita temukan hikmah hidup yang membuat kita hati-hati dalam melangkah ke depan.

Dan pada kesempatan kali ini aku ingin berbagi kisah, cerita hidup seseorang yang sedikit banyak membuatku belajar mengerti bahwa kehidupan itu memang keras. Mudah-mudahan kita bisa memetik pelajaran yang ada di dalamnya.

Hampir empat hari sudah kondisi badan ku tidak enak rasanya. Karena beberapa kali kehujanan di jalan, dan cuaca memang sedang tidak bersahabat. Kemarin malam, aku coba berobat meskipun di luar gerimis belum terang. Dua tempat aku datangi tapi tidak ada dokternya. Aku putuskan pulang karena gerimis semakin deras. Akhirnya, kemarin siang badanku masih belum pulih juga, kepala pun masih pusing. Jadi seharian tidur saja di rumah, istirahat. Kemarin sore, mumpung motor ada di rumah, dan meskipun masih gerimis rintik-rintik aku putuskan untuk kembali berobat, tapi di tempat yang berbeda dengan kemarin malam.

Aku belum pernah berobat kesini, masih tetangga sih, tapi aku juga nggak kenal dengan orangnya. Pikirku, mudah-mudahan cocok dengan obatnya nanti. Sesampainya di rumah mb nya, aku mengucapkan salam. Dia bukan dokter atau mantri, tapi cuma bidan desa yang baru dua tahun tinggal di kampung ini. Sebut saja mb murni namanya. Saat mb murni keluar dari dalam rumahnya, menemuiku, penilaianku terhadapnya adalah mb murni hitam manis, kecil badannya, berjilbab, dan sederhana sepertinya. Ia menyapaku dan kemudian mempersilahkan aku masuk ke ruang praktiknya. "gimana mb?", sapanya padaku, yang berarti ia menanyai keluhanku. "mau berobat mb, pilek, batuk, pusing, panas dalam, dan badan panas", kejelaskan kondisi yang aku alami sekarang. Aku tahu gejala itu sudah satu paket pastinya. "oh.. ya mb silahkan berbaring disana", mb murni menanggapinya dengan mengambil alat pengukur tensi, stetoskop dan termometer dari atas meja kerjanya, dan kemudian menghampiriku. "tolong dilepas ya mb jaketnya", timpahnya.

Usai ku lepas jaket, dimasukkannya termometer diantara lengan dan badanku, kemudian  mb murni mengukur tensi darahku. "100 mb tensinya, biasanya berapa mb normalnya?",  tanyanya padaku. "normalnya biasanya 110 mb", jawabku. Biasanya kalau darah rendah ku lagi kambuh, tensi bisa mencapai 90 atau 80. tensi segitu sudah pasti pusingnya nggak ketulungan. Sementara itu, suhu tubuhku mencapai 37 derajat... pantes aja meskipun dingin hawanya, tapi rasanya tubuhku tetep 'semromong'. "mb nya mau suntik apa obat aja?", tanya mb murni, yang dalam hati aku pasti sudah punya jawaban paten. "obat aja mb", jawabku singkat nggak pakek mikir-mikir lagi.

Sembari menyiapkan obat, ternyata di luar hujan deras. Kataku ke mb murni "wah mb.. ujannya deres,, nggak bisa pulang dong aku". "bawa mantel kan mb?", tanyanya tanpa ada jawaban dari mulutku, karena aku masih serius ngintip hujan dari jendela.

Aku pun duduk di depan meja kerja mb murni, sambil mikir dalam hati kok obat yang dikeluarin banyak banget ya. "mb, obat yang ini 3x1 ya.. diminum sebelum makan, yang ini juga, yang ini juga, yang ini juga, yang ini juga tapi diminum sesudah makan. oyaa, saya tambahin satu jenis vitamin mb, diminumnya 1x aja per hari", jelas mb murni satu per satu sambil nulis keterangan di bungkus obatnya.. "mb, semuanya dihabiskan ya?", tanyaku pelan. Yah.. meskipun aku sudah bisa minum obat sejak kurang lebih sebulan yang lalu, tapi tetap saja ngebayangin minum obat sebanyak itu, males juga.  "untuk yang antibiotik dihabiskan ya mb.. kalau yang ini untuk demam dan yang ini obat batuknya... kalu udah nggak batuk dan nggak demam nggak usah diminum nggak apa-apa, disimpan aja, ini expiednya masih lama kok. Nah, yang ini untuk obat maghnya...", jelas mb murni panjang lebar. "iya mb, terimakasih. Berapa mb semuanya?", tanya ku khawatir kurang duitnya. "30.000 mb". Dalam hati aku berbisik, alhamdulillah cukup nih duitnya.. usai disusukin kami pun mengobrol panjang lebar, mengingat di luar sana hujan masih cukup deras, aku nggak mau maksain badan untuk ujan-ujanan. 

"mb nya rumahnya dimana to?", tanya mb murni padaku, sebagai awal pembicaraan kita.
"sini lho mb, tempat bu sri, anaknya pak cipto", jawabku, dan pasti mb murni tahu siapa orangtuaku.
"oh... kok nggak pernah liat, apa kuliah to? dimana?", sambungnya lagi.
"iya mb, baru wisuda kemarin bulan desember ini tanggal 18. Aku di unila mb. Jurusan agribisnis", sedikit menguraikan. Aku pun ingin tahu dimana mb murni kuliah, karena sepertinya aku tak pernah melihat mb murni. Sampai-sampai aku pun nggak kenal padanya. "lha mb murni kuliah dimana? saya kayaknya nggak pernah tahu mb nya kalau di rumah", tanyaku padanya penasaran. 
"saya di KAFI SOLO mb", jawabnya singkat.
"Lha SMA nya dimana mb? apa dari SMA sudah di solo ya?", rasa ingin tahuku mulai muncul. Kalau zaman sekarang disebutnya dengan KEPO.hehehehe...
"Ndak, saya SMA disini. Dulu saya kan muridnya Pak Cipto, bapaknya njenengan. Saya angkatan ke empat kalau nggak salah dari SMA sini", sembari tersenyum manis mb murni menjawabnya.
"oh gitu toh.. berarti ya termasuk angkatan awal-awal ya...", aku menambahkan.
"Lha iya, wong dulu aja masih dua kelas kok kelas satu, dua, dan tiganya.. sekarang lak sudah banyak toh kelasnya". Jawab mb murni dengan logat jawa yang masih kental.

Sejenak kami terdiam. Tiba-tiba keluar anaknya mb murni yang paling kecil. "mi, digigit semut", sambil merintih dan garuk-garuk leher yang ternyata memerah karena digigit nyamuk. "ambil minyak kayu putihnya nak, olesin di leher ya.. biar kempes", jawab mb murni, uminya.

Mb murni masih di tempat duduknya, dihadapanku. Dan si kecil kembali masuk ke dalam. Di luar sana hujan masih deras, dalam hati aku bertanya, kapan hujan ini akan berhenti. Sudah menjelang magrib.

Kembali membuka percakapan, aku menanyai mb murni kabar teman-teman masa kecilku yang sudah sejak lama tak bertemu. Mereka kuliah di solo, dan memang masih saudara dengan mb murni. "Mb, Ghufron sekarang dimana? Dia dan adik-adiknya kan kuliah di solo to mb?", tanyaku padanya.
"iya, Ghufron masih kuliah semester lima di farmasi UMS", jawab mb murni.
"kok semester lima mb, kan dia angkatan saya dulu SD nya", mulai kepo lagi deh.
"iya, dulu sempet ngulang kuliahnya dan pindah kampus juga. Wahab di farmasi juga, tapi dia di semarang", mb murni menjelaskan satu per satu ponakan-ponakan yang sekolah di solo. Sampai saya lupa nama ponakan-ponakannya. 
"Jadi dulu saya tinggal di solo mb. Saya disini baru dua tahun. Keponakan-keponakan saya yang kuliah di solo dari kampung sini banyak mb. Kalau lagi liburan gini ya pulangnya pada ke rumah saya. Mungkin karena saya yang masih muda, jadi anak-anak pada deketnya ke saya. Apa lagi suami saya orangnya welcome sama anak-anak meskipun galak dab tegas, tapi kalau sama anak-anak bisa lengket. Saudara saya banyak sebenarnya, pakde bude di solo, tapi ya itu anak-anak pulangnya pasti ke rumah saya. Suami saya soalnya sering ngajak mereka jalan-jalan mb, di ajak ke pantai, ke mall, ya pokoknya rame-rame kita jalan-jalan. Jadi anak-anak biar tahu dan mereka juga seneng. Kalau liburan itu, jadi di rumah saya rame mb", urai mb murni, cukup panjang padaku. Tak elak, perhatian penuh dari wajahku ku pusatkan atas ceritanya.

Mb murni melengkapi cerita hidupnya lagi, "Saya tinggal di deket pasar klewer, pas di kota solonya. Waktu di solo saya sudah punya rumah, mapan, punya bisnis konter, ada tiga cabangnya, satu di boyolali, salatiga, dan satu lagi di ..... (maaf saya lupa). Dulu saya belum buka praktik begini. Karena penghasilan sudah lumayan, jadi saya di rumah saja ngurus anak. Suami yang bisnis".

"Lha terus, mb kenapa pindah kesini?", aku bertanya-tanya, wong sudah mapan di kota besar kon pindah ke desa.

"Karena bapak ibu sudah nelpon saya suruh pulang. Bapak ibu kan tinggal berdua di rumah, anak-anak pada jauh. Katanya nanti kejauhan kalau mau jenguk cucu", Jawabnya membuatku cukup jelas sebenarnya. Orangtua mb murni memang di kampung sini, kebetulan kalau ngambil telor untuk di jual, ngambil telornya ke rumah ku. Karena bapak dan ibu ku budidaya ayam petelor di rumah. 

"Tapi sebelum pulang, sebenarnya ada peristiwa hidup yang membuat saya sempet down mb. Dulu, saya merasa cari uang enak banget. Saya duah punya mobil, merek INOVA, gress. Sempet ganti mobil juga (merek mobilnya lupa, yang lebih mahalan memang ^_^).  Rumah di kota. Suami saya ngajar di pondok yang terkenal di sana, pondok ngeruki, tau mb?", cerita mb murni pun dimulai lebih dalam lagi. Aku hanya tersenyum dan mengangguk, memang pernah dengar sih pondok ngeruki tapi nggak paham gimana-gimananya.

"Karena pada saat itu, kembang anthorium masih naik daun, suami saya coba beralih ke bisnis itu. Banyak uang yang dikeluarkan untuk modal itu. Satu pot yang induknya saja dulu bisa mencapai 50 juta rupiah. Dulu, kalau kita mau beli pulsa aja bisa dibayar pakek kembang itu mb. hehehehe... Tapi disitulah awal mula saya merasa diuji sama Allah swt. Memang harta itu hanya titipan mb, kalau kita mau dimuliakan sama Allah swt ya benar-benar akan dimuliakan, sebaliknya kalau kita mau dihinakan, maka kita akan dihina, sehina-hinanya", sepenggal cerita yang belum selesai ini membuatku semakin tertarik mendengarkan cerita mb murnia. Sambil manggut-manggut dan nyebut-nyebut asma Allah, aku serasa didongengin.

Mb Murni meneruskan ceritanya, "Jadi dulu, kami beli beberapa induk anthorium, terus kami budidayakan di kebun kami. Tiba-tiba kok suami saya denger telpon dari rekan bisnis kalau harga anthorium turun bahkan ndak laku lagi. Dari situ, suami saya langsung ke semarang karena kabarnya di semarang masih bisa laku. Ternyata tidak laku juga. Lalu suami saya ke Yogya, sama saja, sudah nggak laku lagi. Sampai beberapa kota didatangi ternyata memang sudah nggak laku lagi bunga anthorium di pasaran. Suami saya pasrah. Untuk menutupi hutang, akhirnya kami jual satu-satu barang berharga kami, rumah, mobil, konter, dan semua barang-barang lainnya. Karyawan kami stop, dan nggak tahu pada kemana mereka cari kerja", cerita mb murni membuatku sedikit terkejut. Cerita sama yang mengingatkanku pada seseorang yang juga mengalami kerugian akibat bisnis bunga. 

"Dari situ, suami saya kayak orang stress. Down. Tapi untungnya pelarian suami saya nggak ke minuman keras, judi, atau pergaulan negatif lainnya. Suami saya jadi musafir mb. Pergi dari satu masjid ke masjid lainnya. Dari satu kota ke kota lainnya. Jalan kaki", membuatku sedikit lega juga.

"Oh... yang rombongan itu ya mb?", tanyaku pada mb murni.

"bukan, suami berkelana sendiri".

"Seperti itu suami mb berapa lama mb?", penasaran.

"Dua bulan mb, tanpa kabar apapun ke saya dan keluarga. Suami saya menghilang selama dua bulan. Meninggalkan saya dan anak-anak saya yang masih kecil. Saat itu, saya sudah benar-benar down juga. Sudah jatuh melarat, ditinggal suami pula. Akhirnya, saya putuskan kerja di rumah sakit. Kadang shift malam, kadang shift siang. Saat itu saya masih ada pembantu di rumah", duh gusti... miris banget nih cerita mb murni. Aku bisa merasakan perasaannya waktu itu. Dalam pikiranku berandai-andai, jika saja itu aku, bisakah aku sekuat mb murni??

"Akhirnya, saya memutuskan pindah ke boyolali mb, tempat kakak saya. Saya merasa lebih tenangan, karena ada keluarga yang memotivasi saya. Saya masih kerja di rumah sakit, kurang lebih perjalanan satu jam dari rumah kakak saya ke rumah sakit itu. Anak saya masih sekolah di solo. Jadi berangkat pagi ngantar anak, nanti pas dia pulang sekolah tak jemput dulu tak bawa kerja di rumah sakit. Sampai suatu hari saya dapat sms dari nomor yang nggak saya kenal. Sms itu dari suami saya, dia ngabari kalau dia sehat-sehat aja", wah ini tambah menarik lagi ceritanya. Sambil nengok ke luar, ngelihat dari jendela, di luar udah mulai gelep, tapi ujan masih deres juga.

"Saya telpon nomor itu mb, tapi nggak aktif. Saya telponin terus nomor itu beberapa hari setelah sms dari suami saya. Nggak aktif, nggak aktif, nggak aktif... sampai suatu hari ternyata diangkat tapi bukan sama suami saya. Dia teman suami saya. Awalnya dia nggak mau ngasih tau dimana suami saya berada, tapi saya dedes terus, akhirnya teman suami saya bilang, kalau mas amir, suami saya, sudah pulang ke solo. Saya diminta untuk cari di masjid-masjid besar di solo", dalam hati aku menerka-nerka, kira-kira bakalan ketemu nggak ya nih suami mb murni. Nggak berani mutus cerita. hehehehe....

"Langsung mb dari telpon itu saya pulang ke boyolali, terus ngabari keluarga dan minta tolong bantuan buat nyari mas amir. Rame-rame kita konvoi motoran, malem itu juga, berangkat ke solo untuk nayri Mas Amir. Kami memencar. Dan alhamdulillah saya ketemu Mas Amir. Kalau mau tahu penampilannya mb, kurus, item, nambah kecil. Ya allah.... Saya tanya kemana hapenya kok nggak aktif, katanya dijual buat makan mb. Suami saya nggak punya uang sama sekali pas jadi musafir. Kalau kata penjaga masjid disana, suami saya ikut bantu ngajar ngaji anak-anak TPA, dan juga bersih-bersih masjid. Istilahnya kayak marbot gitulah mb", rasanya dengar cerita mb murni ini pengen nangis, tapi ya malu, mb murni aja tegar banget kayaknya. Lanjutkan ceritanya mb.... ^_^

"Saya ajak pulang mas amir. alhamdulillah dia mau. Malem itu juga saya telpon mertua saya, ngabari kalaum Mas Amir sudah ketemu. Mertua saya senang. Mas Amir memang anak kesayangan mertua saya. Mertua saya bilang nyuruh pulang saja ke Bali. Suami saya orang asli bali mb", aku masih serius mendengarkan cerita mb murni.

"Akhirnya, kami berdua memutuskan pulang ke bali tempat mertua saya. Sebenarnya kami masih punya rumah di bali, tapi ditinggali mertua saya dan satunya lagi saudara ipar suami saya. Dua rumah itu sertifikatnya atas nama suami saya. Tapi suami saya orangnya nggak mau nodong. Meskipun kami kesusahan, dan memang itu rumah kami, suami saya nggak mau minta. Kami memilih tinggal ngontrak. Biaya ngontrak di bali, apalagi dikotanya, ternyata cukup mahal. Di bali, suami saya hanya bantu-bantu menjalankan bis
nis konveksi iparnya. Hasil kerjanya juga nggak seberapa. Kehidupan kami tak banyak berubah. Sampai akhirnya saya ditelpon orangtua saya di Lampung, disuruh pulang. Saya berpikir, kalau saya pulang ke lampung saya akan merasa lebih tenang. Apalagi saya wanita. Kadangkala perlu curhat macam-macam ke keluarga. Sementara di Bali keluarga saya adalah dari suami saya. Saya merasa canggung untuk cerita banyak-banyak ke mereka. Saya ajak suami saya pulang ke Lampung, tapi ibu mertua saya nggak ngebolehin. Maklumlah, mereka di rumah juga sebenarnya tinggal berdua. Sama kayak orangtua saya di Lampung. Tapi setidaknya saudara suami saya di Bali nggak jauh dari rumah mertua saya. Cukup lama prosesnya sampai mertua saya mengizinkan di Lampung. Saya bilang ke suami saya, Mas Amir dulu yang pergi ke Lampung. Nyoba bisnis disana, betah apa nggak, menguntungkan apa nggak, kalau lancar, nanti saya nyusul pulang. Dan alhamdulillah ternyata ya mulai berjalan. Akhirnya saya nyusul pulang, meskipun ibu mertua saya belum ngebolehin. Tapi Mas Amir ngasih pengertian ke mertua saya, namanya juga lagi ngerintis usaha dari nol. Nanti kalau berhasil ya pasti sering-sering pulang ke Bali", hujan di luar perlahan-lahan mulai reda.

"suami saya disini bisnis baju itu mb, yang jualannya di ruang ini", mb murni menambahkan. 
"oh... iya.. iya... yang waktu itu, terus sekarang dimana mb baju-bajunya? apa dipindah ke pasar tokonya?", jawabku masih penasaran juga.

"ndak mb, suamiku kan sekarang di luar negeri mb. Baju-bajunya itu aku lelang sampai habis. Karena aku nggak punya bakat bisnis. Sebelum ke luar negeri, suamiku ikut paman kerja di PT Timah, Bengkulu. Yah namanya ikut otang mb, apalagi suamiku itu pemalu, jadi dia disana nyoba-nyoba cari timah sendiri, dijual sendiri, tapi ternyata nggak ada hasilnya mb. Akhirnya suamiku pulang kesini lagi. Pulang-pulang mb, aku tambah pangling. Item, kecil, ya allah... lebih parah dari yang jadi musafir itu. Sampek ibu ku bilang kalau Mas Amir itu rupane wes koyo monyet. hehehehe....", mb murni tertawa jika mengingat masa lalu itu. Aku pun hanya tersenyum.. pilunyaaaa ceritanya...

"Pas pulang, suami saya tak tanya. Lha sampean mau bisnis apa. Kata suamiku, mau bisnis apa wong nggak punya modal. Waktu itu sambil bercanda, aku nawarin kerja di luar negeri. Eh,, nggak taunya direspon serius sama suamiku. Kata Mas Amir, lha nggak ada uang, gimana mau berangkat. Aku bilang, kalau sampean benar-benar pengen nanti tak cariin pinjaman. Akhirnya, suami saya ngurus segalanya sendiri, tanpa lewat agen atau lembaga. Alhamdulillah masuk. Kebetulan dulu suami saya guru bahasa arab dan bahasa inggris waktu di pondok ngeruki. Jadi tanpa ada privat khusus, dikit-dikit ya bisalah bahasanya. Awalnya, suami syaa mau ngambil di Kanada mb. Tapi biayanya mahal mau kesana, kata saya ngambil yang dekt dulu, yang murah. Biayanya juga dari ngutang. Akhirnya, ngambil di taiwan. Dan alhamudulillah di terima di perusahaan. Katanya pas nelpon waktu itu, teman-teman kerjanya banyak yang thailand dan taiwan.  Malah yang dari Indonesia itu cuma dia sendiri. Saya tanya, terus sampean komunikasinya gimana. Ya diterjemahin pakek laptop katanya. hehehehe... Alhamdulillah suami saya dekat dengan atasannya. Karena memang suami saya orangnya supel mb, mudah akrab gitu", cerita mb murni yang tadi menegangkan mulai melunakkan.

"terus, sudah ada rencana pulang belum mb?", tanya ku pada mb murni.

"ya belu, kontraknya tiga tahun mb. Tapi kalau sudah dua tahun, baru boleh pulang, ngambil cuti. Nanti balik lagi kesana", jawab mb murni.

"oh gitu... subhanallah ya mb ceritanya. Ya... mudah-mudahan bisa diambil hikmahnya. Berarti ujian skripsi yang aku jalani itu belum seberapa ya mb, inilah hidup yang sebenarnya. Dan aku baru mau mulai memasukinya", aku menanggapi desikit dengan mengambil kesimpulan.

"Ya belumlah mb, ujian Allah masih banyak diluar sana. Tapi ya mb, dengan kejadian ini secara sendiri membuat saya lebih kuat menjalani hidup, saya semakin dewasa dalam menyikapi hidup. Dulu, waktu saya masih banyak rezeki, rasanya manja dan dikit-dikit ngeluh ini-itu", timpal mb murni mencoba mengambil hikmah dari pengalamannya sendiri.

Hujan di luar sana belum juga reda, sementara magrib sudah mulai tiba. Rasanya nggak enak kalau berlama-lama disini. Meski masih ingin mendengar cerita mb Murni. akhirnya saya memutuskan untuk pamit pulang. 

"mb, kayaknya udah malem deh, saya pamit dulu ya mb. Ceritanya luar biasa, bisa jadi pelajaran buat saya mb. Makasih banyak ya mb", aku berdiri dari tempat dudukku sambil keluar dari ruang praktik mb murni.

"oh iya.. sama-sama.. hati-hati ya mb. Kalau ada mantel dipakek saja", perhatian mb murni padaku.

"deket ini mb, ndak usahlah. itu di jok motor mantelnya bapak. Makasih mb, Assalamu'alaikum", aku menyetarter motorku dan berlalu meninggalkan rumah mb murni. Sentuhan air hujan sedikit membuatku kedinginan. Di atas motor pikiranku kemana-mana... adakah keberanian dalam diriku untuk berjalan melalui kehidupan ke depan? Permasalahan yang tentu akan lebih banyak lagi ngantri untuk diselesaikan.. Bismillah, semoga Allah swt selalu menuntunku menjalani kehidupan yang keras ini. Aamiin..



Komentar

Postingan Populer