Bagi Para Penggiat Dakwah

Bagi para penggiat dakwah, berumahtangga bukan hanya dimaknai sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang ammah, diantaranya adalah dalam rangka menyatukan jalinan kisah cinta yang telah menunggu beberapa waktu untuk dibuktikan dan layak diperjuangkan ke dalam ikatan pernikahan. Karena banyak dari para penggiat dakwah, jangankan cinta, kenal saja tidak dengan calon pasangannya. Bagi mereka, pernikahan adalah kewajiban asasi yang harus ditunaikan setelah tahapan memperbaiki diri dan menyeru orang lain ke jalan Allah telah dan sedang ditunaikan. Dan untuk bisa sampai pada prosesi pernikahan, maka banyak hal yang harus diperhatikan agar selalu berada pada koridor yang disyari’atkan agama yang kemudian akan menjadi penarik kebarokahan di dalam pernikahan. Tidak mudah memang, karena banyak juga penggiat dakwah yang tergelincir di saat-saat menghadapi tahap pernikahan ini. Bagaimana tidak, kondisi hati, siapa yang tahu? 

Tapi yang ingin saya bahas disini bukan soal jatuh cinta atau bangun cinta, toh keduanya juga kalau bertepuk sebelah tangan tetap terasa pahit dan menyakitkan bukan? Haru biru adalah pemandangan biasa saat salah satu sahabat hendak dan sedang menunaikan kewajiban asasi ini (pernikahan). Betapa leganya ketika proses yang penuh dengan debaran dan ketegangan akhirnya berlalu dan berhasil dilalui. Di saat akhwat atau ikhwan lainnya masih penasaran dengan jodoh mereka, kamu dan dia telah saling halal untuk melempar sebilah senyuman dan tatapan yang memabukkan. Di luar sana, begitu banyak hati yang iri sekaligus cemburu dengan kebahagiaan yang kamu dan dia miliki. Segalanya berubah menjadi halal dan ladang pahala bagi kamu dan dia. Betapa besar oase pahala yang bisa kalian dapatkan dari pandangan yang menegangkan dada, rayuan yang menggelikan telinga dan sentuhan yang meruntuhkan dosa. Yang semua itu tidak bisa didapatkan oleh ikhwan dan akhwat di luar sana. Kalian berkata,” biarkan mereka menggembala hatinya hingga ke tepian laut usai gunung batuan dan padang pasir mereka lalui”. Disini saya katakan, kamu dan dia “jahaaat!!!”.

Akan tetapi, lihatlah setelah usia pernikahan menginjak pada angka-angka hari, bulan dan tahun. Yang tampak di mata saya adalah “Keloyoan”. Rumah tangga yang dibina memang tidak ada kendala berarti, tapi saya melihat visinya tidak semurni  saat lajang dahulu kala. Dimana peradaban yang ingin kalian bangun? Dimana kontribusi nyata di jalan dakwah yang ingin kalian berikan? Dimana kamu dan dia kini banyak menyibukkan diri? Adakah tetangga rumah kalian merasa perlu kehadiran rumah tangga kalian disana? Ternyata, keluarga muslim yang diidamkan dahulu belum nampak pada keluarga kalian. Masih jauuuuuh, jauh sekali. Bagaimana bisa membangun masyarakat islami, jika keluaga kamu dan dia yang notabene nya adalah penggiat dakwah masih biasa-biasa saja dalam berkontribusi untuk umat? Adakah euforia pernikahan masih mendominasi hubungan kamu dan dia sehingga lupa akan tujuan di awal?

Karenanya Allah berikan pahala untuk kamu dan dia selevel separuh agama, karena beratnya peran yang harus kalian emban dalam rumah tangga ini. Selain ujian antara kamu dan dia perihal saling memahami pribadi masing-masing, ternyata kalian punya kewajiban membawa perubahan di lingkungan sekitar kalian tinggal. Jadi, mencobalah untuk tidak eksklusif saat kalian baru pindahan rumah di lingkungan yang baru. Janganlah berat untuk memberi semangkok kolak atau sop buah bagi tetanggamu agar kalian bisa saling mengenal. Berangkatlah ke mushola atau masjid terdekat dan coba masuklah menjadi bagian pemakmur masjid. Ikutlah kegiatan di lingkungan rumah kalian walau hanya menyediakan satu ceret kopi atau teh panas saat gotong royong. Dan ajaklah bapak-bapak dan ibu-ibu di sekitar rumah kalian untuk mengkaji Al-Qur’an atau ilmu agama.


Komentar

Postingan Populer