Penyebab Matinya HATI

Sejak Idul Adha kemarin atau bahkan dari Idul Fitri (2016) saya belum ikut kajian rutin lagi bersama Ustadz Syatori di pondok pesantrennya. Kesibukan dan sok sibuk membuat diri cuma berangan-angan saja pengen datang kajian ke Darush Shalihat, tapi tak kunjung datang juga. Alhamdulillah sore ini diberikan Allah swt kesempatan, kemudahan, kelapangan dan keringanan hati untuk berangkat kesana. Karena lamanya absent dari kajian rutin yang dilaksanakan setiap kamis dan sabtu, sudah pasti banyak materi yang tertinggal. Menyesal sih, karena catatan di buku jadi tidak lengkap, ilmunya juga jadi nggak syumul. Terpotong-potong. Mudah-mudahan ke depannya bisa lebih rajin lagi datang ke kajian ini. Suka banget dengan topik-topiknya, karena ustadz seringkali menyampaikan permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan kebersihan hati dan jiwa, tazkiyatun nafs.

Dan sore ini, meski telat sekitar lima belas menit karena macetnya subhanallah, alhamdulillah masih dapat kursi. Kajian juga belum lama dimulai, jadi masih bisa ngoret-ngoret buku catatan yang memang secara khusus saya sediakan untuk kajian bersama Ustadz. Materi sore hari ini adalah berkaitan dengan 10 penyebab yang membuat matinya hati. Wah, pas baru sampai judulnya langsung membatin "ini lagi aku butuhin banget". Ada 10 hal yang menyebabkan matinya hati, dan kajian sore ini sudah sampai pada point yang ketiga yaitu "kalian mengaku bermusuhan dengan iblis tetapi kalian sebenarnya bersahabat dengannya (iblis/syetan)". Dikatakan bahwa "sesungguhnya syetan bagi kalian adalah musuh, maka jadikan ia betul-betul sebagai musuh". Sebagaimana dalam Qs. AL-Hijr ayat 39 difirmankan oleh Allah swt :

"Ia (iblis) berkata, 'tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya".

Dari ayat di atas, sudah terlihat jelas bahwa syetan akan terus membisikkan kata-kata yang memalingkan manusia dari keimanan dan ketaqwaan. Syetan akan berupaya terus bagaimana supaya manusia tidak menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh agama. Karenanya, semakin jelas saja bahwa memang syetan adalah benar-benar musuh yang nyata bagi manusia.

Lalu pertanyaannya, dengan cara apakah kita menunjukkan permusuhan kepada syetan itu ('Adawah)?? Kata ustadz, jawabnya adalah dengan menjadi MUKHLIS yang MUKHLAS. Sebagaimana dalam lanjutan Qs. Al-Hijr ayat 40, difirmankan oleh Allah swt :

"kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih (mukhlasin) di antara mereka".

Pertanyaan kedua, bagaimana menjadi mukhlis yang mukhlas itu?? Jawabnya yaitu dengan mengetahui tiga unsur dalam ikhlas yang terdiri dari amal, kaifiyat, dan tujuan.

Sebagai bukti dari keimanan kita kepada Allah swt, maka kita harus melakukan amalan-amalan yang sudah dianjurkan di dalam agama kita. Dan amalan itu harus merupakan amalan-amalan yang disukai oleh Allah swt. Kapankah kita memiliki kesempatan untuk melakukan amalan yang disukai Allah? Yaitu seringkali pada saat-saat diri kita begitu berat untuk melakukan amalan tersebut. Sebagaimana Ustadz mencontohkan, pada saat kita dipermalukan, dihina, dicaci-maki dan dimarahi oleh orang lain, terlebih lagi di hadapan orang banyak maka seringkali akan timbul dalam hati kita rasa marah yang sama bahkan mungkin lebih besar, rasa dendam, dan sifat "mangkel" yang mungkin tak akan hilang oleh apapun bahkan ketika orang tersebut meminta maaf kepada kita. Cenderung kita bersikap merasa bersalah saat dihadapan orang yang memarahi kita, namun dibelakangnya kita mengeluh, kembali mencaci atau mangkel itu tadi. Padahal yang dianjurkan di dalam agama, atau amalan yang disukai Allah swt pada saat tersebut adalah kita harus memafkan orang tersebut. Memaafkan orang yang sudah menghina dan mencaci diri kita dengan seenaknya. Memang tidak mudah dan tentu berat menjalaninya, tapi itulah yang disukai oleh Allah swt. Bahkan memaafkan saja belum dikatakan amalan teroptimal, karena masih ada yang bisa kita lakukan, kebaikan yang lebih besar untuk membalas orang yang sudah memarahi atau mencaci diri kita yaitu dengan memberikan hadiah dan bersikap lebih baik kepadanya.
Jika kita bisa melakukan hal tersebut, mudah-mudahan Allah menjadi ridha terhadap diri kita dan akan membalas dengan kebaikan yang lebih besar.

Lalu, bagaimana cara mengetahui bahwa Allah swt itu telah ridha dengan amal-amal yang sudah kita lakukan?? Yaitu dengan cara Ithmi'nan Al-Qalbi, 'Idatul 'Amali, dan Asy-Syukru.



  • Bahwa ketenangan hati itu adalah sesuatu yang tidak bisa dihilangkan atau dihapus oleh apapun dan siapapun, karena ketenangan hati itu diberikan oleh Allah swt kepada siapa saja yang telah Allah ridhai atas amal-amalnya. 
  • Seseorang yang sudah Allah swt ridhai dalam amalnya akan mudah untuk mengulang amalan-amalan yang sudah ia lakukan. Bahkan cenderung lebih baik, baik dari kuantitas maupun kualitasnya. Sepertinya misalnya untuk bangun sholat tahajud, seseorang yang sudah Allah swt ridhai ia akan mudah untuk mengerjakan sholat tahajud di malam berikutnya meskipun ia tidur terlalu malam, tanpa menghidupkan weker, dan lain-lain.
  • Namun demikian, kadangkala ada waktunya bagi seorang muslim untuk melakukan amal-amal ibadah. Sekali waktu akan ada saatnya kita enggan dan malas untuk melaksanakan ibadah-ibadah baik sunnah maupun wajib diantaranya misalnya terasa berat dalam menjalankannya, tidak bisa khusyuk, berkurang kuantitasnya, atau mengulur-ngulur waktu.
  • Malasnya seseorang dalam melaksanakan amalan-amalan atau ibadah itu disebabkan oleh dua hal yaitu karena Futur dan karena Fatrah.


  • Penyebab malasnya kita dalam beribadah yang pertama adalah disebabkan karena kita dalam kondisi futur. Futur adalah penyebab malasnya beribadah karena adanya dosa yang sudah kita lakukan, sehingga dosa itu membuat atau menjadi penghalang bagi diri kita untuk beribadah. Salah satu yang memungkinkan adalah adanya riya' dalam diri kita. Yaitu niat ibadah yang bukan mengharap pada ridha Allah swt. Karena Allah swt adalah yang paling pencemburu, maka ketika ibadah yang kita lakukan tidak semata-mata kita niatkan karena Allah swt melainkan karena orang lain, maka Allah swt kemudian tidak mau kita temui dalam ibadah-ibadah yang biasanya kita laksanakan. Riya' menjadi penyebab rasa malas beribadah muncul dalam diri kita. 
  • Sementara Fatrah adalah malasnya ibadah yang bukan disebabkan karena dosa yang kita lakukan melainkan karena Allah swt sengaja memberikan rasa malas itu dalam rangka menguji keimanan hambanya, apakah keimanan hambanya itu dapat naik derajatnya atau tidak. 
  • Sebagai contoh ketika misalnya suatu malam kita begitu berat melaksanakan sholat tahajud disebabkan hujan dan dingin, di sisi lain kita tidur terlalu malam, namun demikian kita tetap bangun malam dan melaksanakan tahajud meski dengan terkantuk-kantuk, lelah dan capek, maka hal seperti ini disebabkan karena Fatrah. 
  • Futur dan Fatrah secara maknawi sebetulnya memiliki pengertian yang sama yaitu dimana manusia mengalami kondisi 'jatuh' atau menurunnya kondisi keimanan. Namun yang membedakan adalah, jika Futur itu berlangsung sangat lama dan sangat berat untuk melakukan amal kebaikan. Sementara Fatrah meskipun sangat berat melakukan amalan namun tidak berlangsung lama.
Lalu bagaimana mengetahui bahwa rasa malas yang ada dalam diri kita atau yang hinggap dalam diri kita kita karena faktor Futur atau Fatrah???

Jawabnya adalah dengan tetap melakukan amalan atau tetap BERAMAL!! 
Dengan tetap beramal kita akan tahu apakah kemalasan yang kita rasakan itu sebab Futur atau Fatrah. Malasnya ibadah karena futur itu akan membuat kita terjatuh dalam jurang maksiat. Jika kemalasan beribadah itu disebabkan karena futur maka bersegeralah untuk bertaubat, taubatan nasuha.

"Ya Allah, tidak biasanya aku begitu berat untuk menjalani sunnah-sunnah yang diperintahkan oleh nabimu. Tidak biasanya aku begitu berat melakukan amalan-amalan yang menjadi kewajibanku. Tapi untuk beberapa hari ini, aku merasa berat melakukannya. Jika ini karena begitu banyaknya maksiat yang ku lakukan pada-Mu, jika ini karena dosa-dosaku yang ku lakukan tanpa aku menyadarinya, jika karena dosa-dosa besar, maka aku bertaubat pada-Mu ya Allah dengan taubatan nasuha. Maka terimalah taubatku dan berikan aku kemudahan untuk memulai kembali ibadah-ibadah baik sunnah maupun wajib yang dapat ku kerjakan dengan hati yang ringan, khusyuk dan lebih baik lagi".

Adapun tanda Allah swt ridha dengan amal yang kita lakukan yang ketiga adalah Asy-Syukru (syukur). Syukur itu ada dua, jika Allah swt berikan kita kenikmatan berupa fisik/materi/benda maka fisik/materi/benda yang dimiliki oleh kita itu kita pergunakan sebagai alat beribadah kepada Allah swt. Dan jika kenikmatan itu berupa nikmat beramal, maka seharusnya amalan yang kita kerjakan itu lebih baik daripada orang yang tidak beribadah. Misalnya orang yang sudah rajin sholat, tetapi masih sering ghibah maka bisa jadi itu merupakan pertanda bahwa amalan orang tersebut belum diridhai oleh Allah swt. Padahal seharusnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Namun, bukan berarti orang yang tidak suka berghibah tapi juga tidak sholat itu lebih baik. Karena dua hal tersebut memiliki hisabnya masing-masing.



Bersambung dulu....




Komentar

Postingan Populer